[الْمَاءُ الَّذِي يَنْجُسُ وَاَلَّذِي لَا يَنْجُسُ]
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ -) : الْمَاءُ مَاءَانِ: مَاءٌ جَارٍ وَمَاءٌ رَاكِدٌ، فَأَمَّا الْمَاءُ الْجَارِي فَإِذَا وَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ مِنْ مَيْتَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ نَاحِيَةٌ يَقِفُ فِيهَا الْمَاءُ فَتِلْكَ النَّاحِيَةُ مِنْهُ خَاصَّةً مَاءٌ رَاكِدٌ يَنْجُسُ إنْ كَانَ مَوْضِعُهُ الَّذِي فِيهِ الْمَيْتَةُ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجُسَ،
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: air itu ada dua: yaitu air yang mengalir dan air yang menggenang. Adapun air yang mengalir, ketika di dalamnya terdapat sesuatu yang diharamkan dari bangkai atau darah atau yang lainnya, apabila di dalamnya terdapat sisi yang berhenti, maka sisi yang berhenti tersebut khususnya air yang menggenang maka ia menajiskan jika tempat genangan yang terdapat bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ (geriba adalah tempat air/susu dari kulit)[i][1].
وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يَنْجُسْ إلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ، فَإِنْ كَانَ جَارِيًا لَا يَقِفُ مِنْهُ شَيْءٌ فَإِذَا مَرَّتْ الْجِيفَةُ أَوْ مَا خَالَطَهُ فِي الْجَارِي تَوَضَّأَ بِمَا يَتْبَعُ مَوْضِعَ الْجِيفَةِ مِنْ الْمَاءِ؛
Dan apabila airnya lebih banyak dari lima ‘geriba’, maka air tersebut tidak menajiskan kecuali berubah baunya, atau warnanya, atau rasanya. Karena air yang mengalir itu tidak dapat berhenti atau menetap sesuatu di atasnya. Apabila ada bangkai yang lewat atau hanyut atau apa saja yang bercampur dalam air yang mengalir tersebut, maka berwudlunya dengan air yang mengikuti (mengalir sesudah) tempatnya bangkai tersebut.
لِأَنَّ مَا يَتْبَعُ مَوْضِعَهَا مِنْ الْمَاءِ غَيْرُ مَوْضِعِهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فِيهِ جِيفَةٌ فَتَوَضَّأَ رَجُلٌ مِمَّا حَوْلَ الْجِيفَةِ لَمْ يُجْزِهِ إذَا مَا كَانَ حَوْلَهَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ كَالْمَاءِ الرَّاكِدِ، وَيَتَوَضَّأُ بِمَا بَعْدَهُ؛
Hal ini karena air yang mengikuti tempat bangkai tersebut adalah tempat yang lain dari air tersebut. Karena air yang lain tersebut tidak bercampur dengan najis. Dan apabila air yang mengalir sedikit jumlahnya serta di dalamnya terdapat bangkai, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengan air di sekitar bangkai tersebut ketika disekitar bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ seperti air yang menggenang. Dan diperbolehkan berwudlu dengan air sesudah bangkai tersebut mengalir.
لِأَنَّ مَعْقُولًا فِي الْمَاءِ الْجَارِي أَنَّ كُلَّ مَا مَضَى مِنْهُ غَيْرُ مَا حَدَثَ، وَأَنَّهُ لَيْسَ وَاحِدًا يَخْتَلِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ فَإِذَا كَانَ الْمُحَرَّمُ فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ يَحْتَمِلُ النَّجَاسَةَ نَجُسَ، وَلَوْلَا مَا وَصَفْت، وَكَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فَخَالَطَتْ النَّجَاسَةُ مِنْهُ مَوْضِعًا, فَجَرَى نَجُسَ الْبَاقِي مِنْهُ إذَا كَانَا إذَا اجْتَمَعَا مَعًا يَحْمِلَانِ النَّجَاسَةَ،
Hal ini masuk akal karena di dalam air yang mengalir itu setiap air yang telah lewat adalah air yang bukan bercampur dengan kotoran. Dan bahwasanya dia tidaklah satu bagian yang mencampuri sebagiannya dengan sebagian yang lain. Maka apabila benda – benda yang diharamkan berada di dalam tempat tersebut, membawa najis tersebut, maka air yang membawanya menjadi najis. Tanpa apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan adalah air yang mengalir itu sangat sedikit, kemudian bercampur dengannya najis darinya di suatu tempat, maka mengalirlah najis yang diam tersebut darinya. Ketika dia berkumpul bersama - sama (dengan air), maka kedua – duanya membawa najis.
وَلَكِنَّهُ كَمَا وَصَفْت، كُلُّ شَيْءٍ جَاءَ مِنْهُ غَيْرُ مَا مَضَى، وَغَيْرُ مُخْتَلَطٍ بِمَا مَضَى، وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ فِي هَذَا مُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُخْتَلِطٌ كُلُّهُ فَيَقِفُ، فَيَصِيرُ مَا حَدَثَ فِيهِ مُخْتَلِطًا بِمَا كَانَ قَبْلَهُ، لَا يَنْفَصِلُ، فَيَجْرِي بَعْضُهُ قَبْلَ بَعْضٍ كَمَا يَنْفَصِلُ الْجَارِي.
Dan akan tetapi sebagaimana aku gambarkan, segala sesuatu yang datang darinya selain yang telah lewat (air yang membawa najis tersebut) dan selain yang bercampur dengan yang telah lewat, dan air itu tergenang di dalam bagian ini, maka air itu berbeda dengan air yang bercampur najis tadi. Karena sesungguhnya dia (najis dan air itu) bercampur seluruhnya, maka dia tertahan dan dia menjadi kotoran di dalamnya yang bercampur dengan apa – apa yang datang sebelumnya (bercampur dengan air yang mengalir), tidak terpisah. Maka mengalirlah sebagiannya sebelum sebagian yang lain sebagaimana terpisahnya air yang mengalir.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ رِيحَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ كَانَ نَجِسًا، وَإِنْ مَرَّتْ جَرْيَتُهُ بِشَيْءٍ مُتَغَيِّرٍ بِحَرَامٍ خَالَطَهُ فَتَغَيَّرَتْ ثُمَّ مَرَّتْ بِهِ جَرْيَةٌ أُخْرَى غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ فَالْجَرْيَةُ الَّتِي غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ طَاهِرَةٌ، وَالْمُتَغَيِّرَةُ نَجِسَةٌ
Imam Syafi'i berkata: Apabila air yang mengalir —baik kadarnya sedikit ataupun banyak— itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.
(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ فِي الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَرَكَدَ فِيهِ الْمَاءُ، وَكَانَ زَائِلًا عَنْ سَنَنِ جَرْيَتِهِ بِالْمَاءِ يَسْتَنْقِعُ فِيهِ، فَكَانَ يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ فَخَالَطَهُ حَرَامٌ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ رَاكِدٌ. وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ الْجَارِي يَدْخُلُهُ إذَا كَانَ يَدْخُلُهُ مِنْهُ مَا لَا يُكْثِرُهُ، حَتَّى يَصِيرَ كُلُّهُ خَمْسَ قِرَبٍ، وَلَا يَجْرِي بِهِ.
Apabila di dalam air yang mengalir terdapat tempat yang lebih rendah, maka air menjadi diam atau tergenang di dalamnya. Dan air tersebut tetap berhenti dari jalan mengalirnya air dengan air menggenang di dalamnya, maka apabila air tersebut membawa najis serta bercampur dengannya benda – benda yang diharamkan, maka air tersebut menjadi najis. Karena air tersebut adalah air yang tergenang (bukan air yang mengalir). Hal yang demikian itu apabila air yang mengalir memasukinya (memasuki air yang menggenang), ketika memasukinya tidaklah membuatnya menjadi banyak, hingga berubah seluruhnya menjadi lima geriba, dan (air yang menggenang tersebut) tidaklah mengalir dengannya.
وَإِنْ كَانَ فِي سَنَنِ الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَوَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ، وَكَانَ الْمَاءُ يَجْرِي بِهِ فَهُوَ جَارٍ كُلُّهُ، لَا يَنْجُسُ إلَّا بِمَا يَنْجُسُ بِهِ الْجَارِي. وَإِذَا صَارَ الْمَاءُ الْجَارِي إلَى مَوْضِعٍ يَرْكُدُ فِيهِ الْمَاءُ فَهُوَ مَاءٌ رَاكِدٌ يُنَجِّسُهُ مَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ الرَّاكِدَ.
Apabila di dalam jalan air yang mengalir tersebut terdapat tempat yang lebih rendah, yang terdapat di dalamnya benda – benda yang diharamkan, dan terdapat air yang mengalir kepadanya maka dia adalah air yang mengalir seluruhnya, tidak menajiskan kecuali dengan apa – apa yang menajiskan air yang mengalir. Ketika air yang mengalir telah menuju ke tempat air yang menggenang, dan air tersebut adalah air yang tergenang, maka menajiskannya apa – apa yang menajiskan air yang tergenang (atau air yang tidak mengalir).
[كِتَاب الطَّهَارَة]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
كِتَابُ الطَّهَارَةِ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ " أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - " قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ} [المائدة: 6] الْآيَةَ
Kitab Thaharah
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata “Telah mengabarkan kepada kami As-Syafi’i – rahimahullahu ta’ala – dia berkata “Allah Azza wa Jalla berfirman:
{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ} [المائدة: 6]
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu.... " [Qs. Al Maa’idah (5): 6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكَانَ بَيِّنًا عِنْدَ مَنْ خُوطِبَ بِالْآيَةِ أَنَّ غَسْلَهُمْ إنَّمَا كَانَ بِالْمَاءِ ثُمَّ أَبَانَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّ الْغُسْلَ بِالْمَاءِ وَكَانَ مَعْقُولًا عِنْدَ مَنْ خُوطِبَ بِالْآيَةِ أَنَّ الْمَاءَ مَا خَلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مِمَّا لَا صَنْعَةَ فِيهِ لِلْآدَمِيِّينَ وَذِكْرُ الْمَاءِ عَامًّا فَكَانَ مَاءُ السَّمَاءِ وَمَاءُ الْأَنْهَارِ وَالْآبَارِ وَالْقُلَّاتِ وَالْبِحَارِ الْعَذْبُ مِنْ جَمِيعِهِ وَالْأُجَاجُ سَوَاءً فِي أَنَّهُ يُطَهِّرُ مَنْ تَوَضَّأَ وَاغْتَسَلَ مِنْهُ، وَظَاهِرُ الْقُرْآنِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَاءٍ طَاهِرٌ مَاءُ بَحْرٍ وَغَيْرِهِ
Asy-Syafi’i berkata: maka ini adalah penjelas bagi orang - orang yang disebutkan dalam ayat tersebut bahwa membasuhnya adalah dengan air, kemudian tercantum dalam ayat ini bahwa basuhan itu dengan air dan ini masuk akal bagi orang – orang yang disebutkan dalam ayat tersebut bahwa air itu adalah ciptaan Allah tabaaraka wa ta’ala sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakannya. Dan Dia menyebutkan air secara umum, maka di dalamnya termasuk juga air dari langit (hujan), air sungai, air sumur, air yang keluar dari celah-celah bukit, air laut, baik yang asin maupun yang tawar. Semua jenis air itu dapat dipergunakan untuk bersuci bagi yang hendak berwudlu atau mandi. Makna lahir dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua jenis air adalah suci, baik air laut maupun air yang lain.
وَقَدْ رُوِيَ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَدِيثٌ يُوَافِقُ ظَاهِرَ الْقُرْآنِ فِي إسْنَادِهِ مَنْ لَا أَعْرِفُهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ رَجُلٌ مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ خَبَّرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ «سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Dan sungguh telah diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hadits yang sependapat dengan dhahirnya Al-Qur’an, di dalam sanadnya terdapat orang yang aku tidak mengenalnya. Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Said bin Salamah, seorang laki – laki dari keluarga ibnu al-Azrak, bahwa al-Mughirah bin Abi Burdah dan dia dari bani Abdi ad-Dar mengabarkannya bahwa dia mendengar Abu Hurairah –radliyallahu ‘anhu- mengatakan: bertanya seseorang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dia berkata: "Wahai Rasulullah, kami pernah berlayar, sementara kami hanya memiliki sedikit persediaan air. Apabila kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan, maka apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?" Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- menjawab, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal. " (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ (1/50 nomor 12), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (1/7), HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/237, 361, 378, 393), Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/201 nomor 729, 2/126 nomor 2011), al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (5/205), Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/188~189 nomor 84), at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/100~101 nomor 69), an-Nasa’i dalam Sunan-nya (1/54 nomor 59, 1/192 nomor 331, 5/236 nomor 4361), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/136 nomor 386, 2/1081 nomor 3246), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/59 nomor 111), Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (4/49 nomor 1243), Daruquthni dalam Sunan-nya (1/36 nomor 13), Baihaqi dalam Sunan-nya (1/3), Imam Tirmidzi mengatakan “hadits ini hasan shahih”, al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifatu as-Sunan: “hadits shahih sebagaimana pernyataan al-Bukhari”, dan hadits ini juga dishahihkan oleh Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir)[i][1]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِي هِنْدٍ الْفِرَاسِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ الْبَحْرُ فَلَا طَهَّرَهُ اللَّهُ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكُلُّ الْمَاءِ طَهُورٌ مَا لَمْ تُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ وَلَا طَهُورَ إلَّا فِيهِ أَوْ فِي الصَّعِيدِ، وَسَوَاءٌ كُلُّ مَاءٍ مِنْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ أُذِيبَ وَمَاءٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ لَهُ طَهَارَةُ وَالنَّارُ لَا تُنَجِّسُ الْمَاءَ.
Asy-Safi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Abdul Aziz bin Umar dari Sa’id bin Tsauban dari Abu Hindin al-Firasi dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: "Barangsiapa tidak dapat disucikan dengan air laut, maka Allah tidak menyucikannya.” (HR. Daruquthni dalam Sunan-nya (1/35~36 nomor 11), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/4), Daruquthni mengatakan “sanadnya hasan”, Ibnu Mulaqqin berkata: “maka sesungguhnya di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Humaid ar-Razi dan Ibrahim bin al-Mukhtar, adapun Muhammad bin Humaid ar-Razi, al-Baihaqi berkata dalam Sunannya, bahwa ia “laisa bil qawwi” (tidak kuat), adapun Ibrahim bin al-Mukhtar, Ahmad bin Ali al-Abbar berkata: aku bertanya kepada Zanijan Aba Ghassan tentangnya, maka ia berkata: aku meninggalkannya, dan tidak akan ridla terhadapnya. Ibnu Ma’in berkata: laisa bi dzaaka (tidak kuat atau lemah).[i][2]
Asy-Safi’i berkata: Setiap air tetap suci selama belum dicampuri najis. Tidak ada yang menyucikan kecuali air atau tanah, sama saja bagi setiap air baik dari air embun, salju yang dicairkan, air yang dipanaskan atau tidak dipanaskan, karena air memiliki sifat untuk menyucikan dan api tidak dapat menajiskan air.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ الْمَاءُ فَيَغْتَسِلُ بِهِ وَيَتَوَضَّأُ بِهِ.
Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Zaid bin Aslam dari Ayahnya bahwa Umar bin al-Khattab –radliyallahu ‘anhu- memanaskan air baginya maka dia mandi dengannya dan wudlu dengannya. (HR. Daruquthni dalam Sunan-nya (1/37) dengan lafadz ” bahwa Umar bin al-Khattab –radliyallahu ‘anhu- memanaskan air dalam botol baginya maka dia mandi dengannya dan wudlu dengannya” Imam Daruquthni mengatakan bahwa sanadnya shahih, HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/6), dinilai dhai’f oleh Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir dengan menyebutkan hadits lain yang semisal tetapi memiliki sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf nya) [i][3]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَدَقَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ الِاغْتِسَالَ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ: إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ.
Asy-Syafi’i berkata: Saya tidak memakruhkan air yang dipanaskan dengan sinar matahari, kecuali dari sisi kesehatan. Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Shadaqah bin Abdillah dari Abi az-Zubair dari Jabir bin Abdillah bahwa Umar memakruhkan bersuci dengan air yang dipanaskan dengan sinar matahari dan berkata: sesungguhnya hal itu mewariskan penyakit belang (kusta). (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/6) dan Ma’rifatus Sunan-nya (1/139), hadits dha’if menurut Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir)[i][4]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْمَاءُ عَلَى الطَّهَارَةِ وَلَا يُنَجَّسُ إلَّا بِنَجَسٍ خَالَطَهُ وَالشَّمْسُ وَالنَّارُ لَيْسَا بِنَجَسٍ إنَّمَا النَّجِسُ الْمُحَرَّمُ، فَأَمَّا مَا اعْتَصَرَهُ لْآدَمِيُّونَ مِنْ مَاءِ شَجَرِ أَوْ وَرْدٍ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا يَكُونُ طَهُورًا وَكَذَلِكَ مَاءُ أَجْسَادِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا يَكُونُ طَهُورًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ هَذَا اسْمُ مَاءٍ إنَّمَا يُقَالُ لَهُ: مَاءٌ بِمَعْنَى مَاءِ وَرْدٍ وَمَاءِ شَجَرِ كَذَا وَمَاءِ مَفْصِلِ كَذَا وَجَسَدِ كَذَا وَكَذَلِكَ لَوْ نَحَرَ جَزُورًا وَأَخَذَ كِرْشَهَا فَاعْتَصَرَ مِنْهُ مَاءً لَمْ يَكُنْ طَهُورًا؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَاءِ إلَّا بِالْإِضَافَةِ إلَى شَيْءٍ غَيْرِهِ يُقَالُ مَاءُ كِرْشٍ وَمَاءُ مَفْصِلٍ كَمَا يُقَالُ مَاءُ وَرْدٍ وَمَاءُ شَجَرِ كَذَا وَكَذَا فَلَا يَجْزِي أَنْ يَتَوَضَّأَ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا.
Asy-Syafi’i berkata: air untuk bersuci tidak menjadi najis kecuali dengan adanya najis yang bercampur dengannya sedangkan matahari dan api bukanlah termasuk najis, karena sesungguhnya najis itu adalah benda - benda yang diharamkan. Maka adapun apa – apa yang merupakan hasil perasan manusia seperti air pohon atau bunga mawar atau yang selainnya. Maka air seperti ini tidaklah mensucikan dan yang seperti demikian itu adalah air dari tubuh makhluk yang bernyawa yang tidak mensucikan. Hal ini karena air tersebut tidak termasuk dalam salah satu nama air ini (secara umum). Sesungguhnya dikatakan bagi air tersebut sebagai air dengan makna air mawar dan air pohon, demikian pula dengan air (cairan) sendi dan air (cairan) dari tubuh. Dan seperti yang demikian itu, apabila menyembelih unta dan mengambil perut pertamanya maka kemudian memeras air (cairan) darinya, maka air (cairan) ini tidak dapat mensucikan. Karena air (cairan) tersebut tidak termasuk dalam nama air (secara umum) kecuali dengan disandarkan kepada sesuatu selainnya, sehingga dikatakan sebagai cairan perut dan cairan persendian sebagaimana dikatakan air mawar dan air pohon dan demikian pula maka tidak diperbolehkan untuk berwudlu dengan segala sesuatu dari ini.
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
[الْمَاءُ الَّذِي يَنْجُسُ وَاَلَّذِي لَا يَنْجُسُ]
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ -) : الْمَاءُ مَاءَانِ: مَاءٌ جَارٍ وَمَاءٌ رَاكِدٌ، فَأَمَّا الْمَاءُ الْجَارِي فَإِذَا وَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ مِنْ مَيْتَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ نَاحِيَةٌ يَقِفُ فِيهَا الْمَاءُ فَتِلْكَ النَّاحِيَةُ مِنْهُ خَاصَّةً مَاءٌ رَاكِدٌ يَنْجُسُ إنْ كَانَ مَوْضِعُهُ الَّذِي فِيهِ الْمَيْتَةُ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجُسَ،
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: air itu ada dua: yaitu air yang mengalir dan air yang menggenang. Adapun air yang mengalir, ketika di dalamnya terdapat sesuatu yang diharamkan dari bangkai atau darah atau yang lainnya, apabila di dalamnya terdapat sisi yang berhenti, maka sisi yang berhenti tersebut khususnya air yang menggenang maka ia menajiskan jika tempat genangan yang terdapat bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ (geriba adalah tempat air/susu dari kulit)[i][1].
وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يَنْجُسْ إلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ، فَإِنْ كَانَ جَارِيًا لَا يَقِفُ مِنْهُ شَيْءٌ فَإِذَا مَرَّتْ الْجِيفَةُ أَوْ مَا خَالَطَهُ فِي الْجَارِي تَوَضَّأَ بِمَا يَتْبَعُ مَوْضِعَ الْجِيفَةِ مِنْ الْمَاءِ؛
Dan apabila airnya lebih banyak dari lima ‘geriba’, maka air tersebut tidak menajiskan kecuali berubah baunya, atau warnanya, atau rasanya. Karena air yang mengalir itu tidak dapat berhenti atau menetap sesuatu di atasnya. Apabila ada bangkai yang lewat atau hanyut atau apa saja yang bercampur dalam air yang mengalir tersebut, maka berwudlunya dengan air yang mengikuti (mengalir sesudah) tempatnya bangkai tersebut.
لِأَنَّ مَا يَتْبَعُ مَوْضِعَهَا مِنْ الْمَاءِ غَيْرُ مَوْضِعِهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فِيهِ جِيفَةٌ فَتَوَضَّأَ رَجُلٌ مِمَّا حَوْلَ الْجِيفَةِ لَمْ يُجْزِهِ إذَا مَا كَانَ حَوْلَهَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ كَالْمَاءِ الرَّاكِدِ، وَيَتَوَضَّأُ بِمَا بَعْدَهُ؛
Hal ini karena air yang mengikuti tempat bangkai tersebut adalah tempat yang lain dari air tersebut. Karena air yang lain tersebut tidak bercampur dengan najis. Dan apabila air yang mengalir sedikit jumlahnya serta di dalamnya terdapat bangkai, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengan air di sekitar bangkai tersebut ketika disekitar bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ seperti air yang menggenang. Dan diperbolehkan berwudlu dengan air sesudah bangkai tersebut mengalir.
لِأَنَّ مَعْقُولًا فِي الْمَاءِ الْجَارِي أَنَّ كُلَّ مَا مَضَى مِنْهُ غَيْرُ مَا حَدَثَ، وَأَنَّهُ لَيْسَ وَاحِدًا يَخْتَلِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ فَإِذَا كَانَ الْمُحَرَّمُ فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ يَحْتَمِلُ النَّجَاسَةَ نَجُسَ، وَلَوْلَا مَا وَصَفْت، وَكَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فَخَالَطَتْ النَّجَاسَةُ مِنْهُ مَوْضِعًا, فَجَرَى نَجُسَ الْبَاقِي مِنْهُ إذَا كَانَا إذَا اجْتَمَعَا مَعًا يَحْمِلَانِ النَّجَاسَةَ،
Hal ini masuk akal karena di dalam air yang mengalir itu setiap air yang telah lewat adalah air yang bukan bercampur dengan kotoran. Dan bahwasanya dia tidaklah satu bagian yang mencampuri sebagiannya dengan sebagian yang lain. Maka apabila benda – benda yang diharamkan berada di dalam tempat tersebut, membawa najis tersebut, maka air yang membawanya menjadi najis. Tanpa apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan adalah air yang mengalir itu sangat sedikit, kemudian bercampur dengannya najis darinya di suatu tempat, maka mengalirlah najis yang diam tersebut darinya. Ketika dia berkumpul bersama - sama (dengan air), maka kedua – duanya membawa najis.
وَلَكِنَّهُ كَمَا وَصَفْت، كُلُّ شَيْءٍ جَاءَ مِنْهُ غَيْرُ مَا مَضَى، وَغَيْرُ مُخْتَلَطٍ بِمَا مَضَى، وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ فِي هَذَا مُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُخْتَلِطٌ كُلُّهُ فَيَقِفُ، فَيَصِيرُ مَا حَدَثَ فِيهِ مُخْتَلِطًا بِمَا كَانَ قَبْلَهُ، لَا يَنْفَصِلُ، فَيَجْرِي بَعْضُهُ قَبْلَ بَعْضٍ كَمَا يَنْفَصِلُ الْجَارِي.
Dan akan tetapi sebagaimana aku gambarkan, segala sesuatu yang datang darinya selain yang telah lewat (air yang membawa najis tersebut) dan selain yang bercampur dengan yang telah lewat, dan air itu tergenang di dalam bagian ini, maka air itu berbeda dengan air yang bercampur najis tadi. Karena sesungguhnya dia (najis dan air itu) bercampur seluruhnya, maka dia tertahan dan dia menjadi kotoran di dalamnya yang bercampur dengan apa – apa yang datang sebelumnya (bercampur dengan air yang mengalir), tidak terpisah. Maka mengalirlah sebagiannya sebelum sebagian yang lain sebagaimana terpisahnya air yang mengalir.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ رِيحَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ كَانَ نَجِسًا، وَإِنْ مَرَّتْ جَرْيَتُهُ بِشَيْءٍ مُتَغَيِّرٍ بِحَرَامٍ خَالَطَهُ فَتَغَيَّرَتْ ثُمَّ مَرَّتْ بِهِ جَرْيَةٌ أُخْرَى غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ فَالْجَرْيَةُ الَّتِي غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ طَاهِرَةٌ، وَالْمُتَغَيِّرَةُ نَجِسَةٌ
Imam Syafi'i berkata: Apabila air yang mengalir —baik kadarnya sedikit ataupun banyak— itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.
(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ فِي الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَرَكَدَ فِيهِ الْمَاءُ، وَكَانَ زَائِلًا عَنْ سَنَنِ جَرْيَتِهِ بِالْمَاءِ يَسْتَنْقِعُ فِيهِ، فَكَانَ يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ فَخَالَطَهُ حَرَامٌ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ رَاكِدٌ. وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ الْجَارِي يَدْخُلُهُ إذَا كَانَ يَدْخُلُهُ مِنْهُ مَا لَا يُكْثِرُهُ، حَتَّى يَصِيرَ كُلُّهُ خَمْسَ قِرَبٍ، وَلَا يَجْرِي بِهِ.
Apabila di dalam air yang mengalir terdapat tempat yang lebih rendah, maka air menjadi diam atau tergenang di dalamnya. Dan air tersebut tetap berhenti dari jalan mengalirnya air dengan air menggenang di dalamnya, maka apabila air tersebut membawa najis serta bercampur dengannya benda – benda yang diharamkan, maka air tersebut menjadi najis. Karena air tersebut adalah air yang tergenang (bukan air yang mengalir). Hal yang demikian itu apabila air yang mengalir memasukinya (memasuki air yang menggenang), ketika memasukinya tidaklah membuatnya menjadi banyak, hingga berubah seluruhnya menjadi lima geriba, dan (air yang menggenang tersebut) tidaklah mengalir dengannya.
وَإِنْ كَانَ فِي سَنَنِ الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَوَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ، وَكَانَ الْمَاءُ يَجْرِي بِهِ فَهُوَ جَارٍ كُلُّهُ، لَا يَنْجُسُ إلَّا بِمَا يَنْجُسُ بِهِ الْجَارِي. وَإِذَا صَارَ الْمَاءُ الْجَارِي إلَى مَوْضِعٍ يَرْكُدُ فِيهِ الْمَاءُ فَهُوَ مَاءٌ رَاكِدٌ يُنَجِّسُهُ مَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ الرَّاكِدَ.
Apabila di dalam jalan air yang mengalir tersebut terdapat tempat yang lebih rendah, yang terdapat di dalamnya benda – benda yang diharamkan, dan terdapat air yang mengalir kepadanya maka dia adalah air yang mengalir seluruhnya, tidak menajiskan kecuali dengan apa – apa yang menajiskan air yang mengalir. Ketika air yang mengalir telah menuju ke tempat air yang menggenang, dan air tersebut adalah air yang tergenang, maka menajiskannya apa – apa yang menajiskan air yang tergenang (atau air yang tidak mengalir).
Air yang Tergenang
[الْمَاءُ الرَّاكِدُ]
Air yang Tergenang
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ مَاءَانِ: مَاءٌ لَا يَنْجُسُ بِشَيْءٍ خَالَطَهُ مِنْ الْمُحَرَّمِ، إلَّا أَنْ يَكُونَ لَوْنُهُ فِيهِ أَوْ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ قَاتِمًا. وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ الْمُحَرَّمِ فِيهِ مَوْجُودًا بِأَحَدِ مَا وَصَفْنَا تَنَجَّسَ كُلُّهُ قَلَّ أَوْ كَثُرَ.
Ada dua macam air yang tergenang:
(Pertama) Air yang tidak najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali apabila warnanya, baunya, dan rasanya telah berubah. Apabila sesuatu yang haram terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan; baik warna, bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik sedikit maupun banyak.
(قَالَ) : وَسَوَاءٌ إذَا وُجِدَ الْمُحَرَّمُ فِي الْمَاءِ جَارِيًا كَانَ أَوْ رَاكِدًا
Imam Syafi’i berkata: sama saja ketika sesuatu yang haram tersebut terdapat pada air yang mengalir ataukah pada air yang tergenang.
(قَالَ) : وَمَاءٌ يَنْجُسُ بِكُلِّ شَيْءٍ خَالَطَهُ مِنْ الْمُحَرَّمِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَوْجُودًا فِيهِ. فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: مَا الْحُجَّةُ فِي فَرْقٍ بَيْنَ مَا يَنْجُسُ وَمَا لَا يَنْجُسُ، وَلَمْ يَتَغَيَّرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا؟ قِيلَ: السُّنَّةُ:
(Kedua) Air yang najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang haram itu tidak terdapat padanya. Apabila seseorang bertanya, "Apa alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis, padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya (sifat – sifatnya)?" Maka dikatakan (jawabnya), (hujjah dalam hal ini adalah) Sunnah (hadits):
أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ أَنْ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا أَوْ خَبَثَا»
Telah mengabarkan kepada kami ats-Tsiqah dari al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ketika air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis atau kotoran”. (HR. Asy-Syafi’i dalam musnadnya (1/21-22), HR. Ahmad dalam musnadnya (2/12,23,26-27,38,107), HR. Ad-Darimi dalam sunannya (1/202, nomor 731,732), HR. Abu Dawud dalam sunannya (1/178-179, nomor 64-66), HR. Tirmidzi dalam sunannya (1/97, nomor 67), HR. Nasa’i dalam sunannya (1/49-50 nomor 52, 1/191 nomor 327), HR. Ibnu Majah dalam sunannya (1/172 nomor 517, 518), HR. Daruquthni dalam sunannya (1/13-23 nomor 1 – 25), HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/49 nomor 92), HR. Ibnu Hiban dalam shahihnya (4/57 nomor 1249, 4/63 nomor 1253), HR. Hakim dalam mustadraknya (1/132), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/260-262), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir-nya berkata hadits ini hadits shahih).[i][1]
أَخْبَرَنَا مُسْلِمٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ بِإِسْنَادٍ لَا يَحْضُرُنِي ذِكْرُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا» ، وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ: بِقِلَالِ هَجَرَ، قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَرَأَيْت قِلَالَ هَجَرَ فَالْقُلَّةُ تَسَعُ قِرْبَتَيْنِ أَوْ قِرْبَتَيْنِ وَشَيْئًا.
Telah mengabarkan kepada kami Muslim, dari ibnu Juraij dengan sanad yang tidak aku ingat, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “apabila air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis”, dan dia berkata dalam hadits ini: dengan tempayan/buyung besar Hajara. Ibnu Juraij berkata: dan aku pernah melihat ‘tempayan/buyung besar Hajara’ maka satu qullah sepersembilan dari dua qirbah atau dua qirbah dan yang sepadan. (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/263), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan: Muslim bin Khalid, dan ketika dia dibicarakan di dalamnya (hadits tersebut), maka sungguh telah tsiqah kepadanya: Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dan keduanya mengeluarkan hadits darinya dalam shahih keduanya.)[i][2]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : كَانَ مُسْلِمٌ يَذْهَبُ إلَى أَنَّ ذَلِكَ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ الْقِرْبَةِ أَوْ نِصْفِ الْقِرْبَةِ فَيَقُولُ: خَمْسُ قِرَبٍ هُوَ أَكْثَرُ مَا يَسَعُ قُلَّتَيْنِ، وَقَدْ تَكُونُ الْقُلَّتَانِ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ، وَفِي قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا» دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ مِنْ الْمَاءِ يَحْمِلُ النَّجَسَ
Imam asy-Syafi’i berkata: Muslim berpendapat bahwasanya (dua kullah itu) kurang dari setengah geriba[i][3] atau setengah geriba, maka dia (Imam Syafi’i) berkata: lima geriba adalah lebih banyak daripada dua kullah. Sesungguhnya dua kullah itu kurang dari lima geriba. Dan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “ketika air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis” memiliki penunjukkan bahwa air yang tidak (atau kurang dari) dua kullah membawa najis.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ تَكُونَ الْقُلَّةُ قِرْبَتَيْنِ وَنِصْفًا، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ خَمْسَ قِرَبٍ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا فِي جَرَيَانٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَقِرَبُ الْحِجَازِ كِبَارٌ، فَلَا يَكُونُ الْمَاءُ الَّذِي لَا يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ إلَّا بِقِرَبٍ كِبَارٍ. وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَخَالَطَتْهُ مَيْتَةٌ نَجُسَ،
Imam asy-Syafi’i berkata: maka adalah suatu kehati – hatian bahwa satu kullah adalah dua geriba dan setengahnya. Maka ketika air itu mencapai lima geriba, maka dia tidak membawa najis pada air yang mengalir atau yang selainnya. Sedangkan ukuran geriba hijaz besar - besar, maka tidaklah air itu yang tidak membawa najis kecuali dengan geriba yang besar - besar. Dan apabila air tersebut kurang dari lima geriba, kemudian bercampur bangkai (di dalamnya), maka air tersebut najis.
وَنَجُسَ كُلُّ وِعَاءٍ كَانَ فِيهِ، فَأُهْرِيقَ، وَلَمْ يَطْهُرْ الْوِعَاءُ إلَّا بِأَنْ يُغْسَلَ، وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ لَيْسَتْ بِقَائِمَةٍ فِيهِ نَجَّسَتْهُ، فَإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ مَاءٌ حَتَّى يَصِيرَ هُوَ بِاَلَّذِي صُبَّ عَلَيْهِ خَمْسَ قِرَبٍ فَأَكْثَرَ طَهُرَ، وَكَذَلِكَ لَوْ صَبَّ هُوَ عَلَى الْمَاءِ أَقَلَّ وَأَكْثَرَ مِنْهُ حَتَّى يَصِيرَ الْمَاءَانِ مَعًا أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يُنَجِّسْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ، وَإِذَا صَارَا خَمْسَ قِرَبٍ فَطَهُرَا، ثُمَّ فُرِّقَا، لَمْ يَنْجُسَا بَعْدَ مَا طَهُرَا إلَّا بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِمَا.
Maka najis setiap wadah yang di dalamnya terdapat najis, maka dituangkan (dibuang isi wadah yang najis tersebut), dan wadah tersebut tidaklah menjadi suci kecuali dengan dicuci. Dan apabila air yang kurang dari lima geriba bercampur dengan najis, berubah keadaannya, maka menajiskannya. Apabila dituangkan kepadanya air hingga menjadi lima geriba, maka air tersebut menjadi banyak dan suci. Demikian juga apabila dituangkan atas air yang kurang dan lebih banyak darinya hingga menjadi dua air yang bersama – sama lebih banyak dari lima geriba, maka air tersebut tidak menajiskan salah satu dari keduanya. Dan apabila menjadi lima geriba maka ia adalah air suci, kemudian dipisah-pisahkan (air yang sebelumnya disatukan), tidaklah menajiskan setelah suci (air yang dipisahkan tersebut) kecuali dengan najis yang mengotori di dalamnya (di dalamnya terdapat najis).
وَإِذَا وَقَعَتْ الْمَيْتَةُ فِي بِئْرٍ أَوْ غَيْرِهَا فَأُخْرِجَتْ فِي دَلْوٍ أَوْ غَيْرِهِ طُرِحَتْ، وَأُرِيقَ الْمَاءُ الَّذِي مَعَهَا؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ مُنْفَرِدًا مِنْ مَاءِ غَيْرِهِ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ غُسِلَ الدَّلْوُ فَإِنْ لَمْ يُغْسَلْ وَرُدَّ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ، طَهَّرَهُ الْمَاءُ الْكَثِيرُ، وَلَمْ يُنَجِّسْ هُوَ الْمَاءَ الْكَثِيرَ. (قَالَ) : وَالْمُحَرَّمُ كُلُّهُ سَوَاءٌ، إذَا وَقَعَ فِي أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجَّسَهُ.
Dan ketika terdapat bangkai di dalam sumur atau yang lainnya kemudian dikeluarkan (diambil dari sumur) ke dalam ember atau yang selainnya, dan jernih air yang ada bersamanya. Apabila air tersebut kurang dari lima geriba tanpa adanya air yang lain, maka aku lebih menyukai untuk mencuci ember tersebut, tidaklah dicuci di dalam air yang banyak. Mensucikannya air yang banyak, dan tidak menajiskannya air yang banyak. Dan sama saja segala sesuatu yang diharamkan, ketika terdapat di dalam air yang kurang dari lima geriba, maka menajiskannya.
وَلَوْ وَقَعَ حُوتٌ مَيِّتٌ، فِي مَاءٍ قَلِيلٍ، أَوْ جَرَادَةٌ مَيِّتَةٌ لَمْ يَنْجُسْ؛ لِأَنَّهُمَا حَلَالٌ مَيِّتَتَيْنِ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا كَانَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مِمَّا يَعِيشُ فِي الْمَاءِ،
Dan apabila terdapat bangkai ikan paus di dalam air yang sedikit, atau bangkai belalang, maka tidak najis air tersebut. Hal ini karena keduanya adalah bangkai yang halal. Dan demikian pula setiap makhluk hidup yang hidup di dalam air.
وَمِمَّا لَا يَعِيشُ فِي الْمَاءِ مِنْ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ إذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ الَّذِي يَنْجُسُ مَيِّتًا نَجَّسَهُ، إذَا كَانَ مِمَّا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ. فَأَمَّا مَا كَانَ مِمَّا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، مِثْلُ الذُّبَابِ، وَالْخَنَافِسِ وَمَا أَشْبَهَهُمَا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Dan adapun makhluk hidup yang tidak hidup di dalam air ketika terdapat dalam air yang bangkai itu menajiskannya maka air tersebut menajiskan, ketika bangkai tersebut mengeluarkan cairannya. Maka adapun bangkai yang tidak mengeluarkan cairan seperti lalat, kumbang, dan yang sejenisnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا مَاتَ مِنْ هَذَا فِي مَاءٍ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ، وَمَنْ قَالَ هَذَا قَالَ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: هَذِهِ مَيْتَةٌ، فَكَيْفَ زَعَمْت أَنَّهَا لَا تَنْجُسُ؟ قِيلَ: لَا تُغَيِّرُ الْمَاءَ بِحَالٍ، وَلَا نَفْسَ لَهَا فَإِنْ قَالَ: فَهَلْ مِنْ دَلَالَةٍ عَلَى مَا وَصَفْت؟ قِيلَ: نَعَمْ
Yang pertama bahwasanya apa – apa yang mati dari ini (lalat, kumbang, dsb) di dalam air yang sedikit atau banyak tidak menajiskannya. Dan apabila ada seseorang yang berkata tentang ini, apabila seseorang berkata: ini adalah bangkai, maka bagaimana mungkin engkau menyatakan bahwasanya dia tidaklah menajiskan? Dikatakan: tidak berubah air tersebut. Dan hewan tersebut tidaklah memiliki darah (yang mengalir). Maka jika berkata: apakah penunjukkan atas apa – apa yang telah engkau gambarkan? Dikatakan: ya.
«إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَمَرَ بِالذُّبَابِ يَقَعُ فِي الْمَاءِ أَنْ يُغْمَسَ فِيهِ» ، وَكَذَلِكَ أَمَرَ بِهِ فِي الطَّعَامِ وَقَدْ يَمُوتُ بِالْغَمْسِ، وَهُوَ لَا يَأْمُرُ بِغَمْسِهِ فِي الْمَاءِ وَالطَّعَامِ وَهُوَ يُنَجِّسُهُ لَوْ مَاتَ فِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَمْدُ إفْسَادِهِمَا،
Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wassalam – memerintahkan ketika terdapat lalat di dalam air agar menenggelamkannya di dalamnya (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (6/414 nomor 3320 dan 5782), HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (34/314 nomor 3840), HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/56 nomor 105), HR. Ibnu Hibban (4/53 nomor 1246, 12/55 nomor 5250), HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (2/1159 nomor 3505), HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya (2/134-135 nomor 230). Perintah yang demikian itu di dalam makanan, dan sungguh lalat tersebut mati dengan menenggelamkannya. Dan tidaklah memerintahkan untuk menenggelamkannya di dalam air dan makanan apabila lalat tersebut menajiskannya sedangkan lalat tersebut mati di dalamnya. Karena sesungguhnya hal itu sengaja merusak keduanya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ إذَا مَاتَ فِيمَا يَنْجُسُ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ مُحَرَّمٌ، وَقَدْ يَأْمُرُ بِغَمْسِهِ لِلدَّاءِ الَّذِي فِيهِ، وَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَمُوتُ،
Pendapat yang kedua: bahwasanya bangkai tersebut (lalat, kumbang, dst) ketika mati di dalam apa – apa yang menajiskan maka ia adalah najis. Karena sesungguhnya ia adalah sesuatu yang diharamkan, dan sungguh diperintahkan untuk menenggelamkannya karena penyakit yang ada di dalamnya. Dan sebagian besar ia tidaklah mati.
أَحَبُّ إلَيَّ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ حَرَامًا أَنْ يُؤْكَلَ، فَوَقَعَ فِي مَاءٍ، فَلَمْ يَمُتْ حَتَّى أُخْرِجَ مِنْهُ لَمْ يُنَجِّسْهُ، وَإِنْ مَاتَ فِيهِ نَجَّسَهُ، وَذَلِكَ مِثْلُ الْخُنْفُسَاءِ وَالْجُعَلِ وَالذُّبَابِ وَالْبُرْغُوثِ، وَالْقَمْلَةِ وَمَا كَانَ فِي هَذَا الْمَعْنَى.
Pendapat yang paling kusukai adalah bahwasanya setiap yang haram untuk dimakan yang terdapat di dalam air, maka tidaklah mati hingga dikeluarkan darinya dan ini tidak menajiskannya (air tersebut), dan jika ia mati di dalamnya, maka ia menajiskannya. Yang demikian itu seperti kumbang, lalat, kutu, dan yang semisal dengan ini.
(قَالَ) : وَذُرَقُ الطَّيْرِ كُلِّهِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ وَمَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ إذَا خَالَطَ الْمَاءَ نَجَّسَهُ؛ لِأَنَّهُ يَرْطُبُ بِرُطُوبَةِ الْمَاءِ.
Kotoran burung semuanya, baik itu yang dimakan dagingnya atau yang tidak dimakan dagingnya, ketika bercampur dengan air maka kotoran tersebut menajiskannya. Hal ini karena kotoran tersebut basah dengan basahnya air.
(قَالَ الرَّبِيعُ) وَعَرَقُ النَّصْرَانِيَّةِ وَالْجُنُبِ، وَالْحَائِضِ طَاهِرٌ، وَكَذَلِكَ الْمَجُوسِيِّ وَعَرَقُ كُلِّ دَابَّةٍ طَاهِرٌ وَسُؤْرُ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ كُلِّهَا طَاهِرٌ إلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ.
(قَالَ الرَّبِيعُ) وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ. وَإِذَا وَضَعَ الْمَرْءُ مَاءً فَاسْتَنَّ بِسِوَاكٍ وَغَمَسَ السِّوَاكَ فِي الْمَاءِ ثُمَّ أَخْرَجَهُ، تَوَضَّأَ بِذَلِكَ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ مَا فِي السِّوَاكِ رِيقُهُ، وَهُوَ لَوْ بَصَقَ أَوْ تَنَخَّمَ أَوْ امْتَخَطَ فِي مَاءٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ. وَالدَّابَّةُ نَفْسُهَا تَشْرَبُ فِي الْمَاءِ، وَقَدْ يَخْتَلِطُ بِهِ لُعَابُهَا فَلَا يُنَجِّسُهُ، إلَّا أَنْ يَكُونَ كَلْبًا أَوْ خِنْزِيرًا.
Ar-Rabi’ berkata: dan keringat orang nashrani, orang yang junub, dan orang yang haid adalah suci. Demikian pula dengan keringat orang majusi, setiap hewan yang melata, air liur hewan, dan hewan liar semuanya suci kecuali anjing dan babi.
Ar-Rabi’ berkata: dan ini adalah perkataan imam asy-Syafi’i. Ketika seseorang memasukan air maka dia membersihkan giginya dengan bersiwak dan menenggelamkan siwaknya itu di dalam air kemudian mengeluarkannya. Dibolehkan berwudlu dengan air yang seperti ini (sisa rendaman siwak). Karena yang banyak terdapat dalam siwak itu adalah air liurnya. Dan apabila dia meludah di dalam air tidak menajiskan air tersebut. Dan hewan yang melata minum di dalam air, dan bercampur di dalamnya air liurnya maka air liur tersebut tidak menajiskannya. Kecuali yang minum dalam air tersebut adalah anjing atau babi.
(قَالَ) : وَكَذَلِكَ لَوْ عَرِقَ فَقَطَرَ عَرَقُهُ فِي الْمَاءِ لَمْ يَنْجُسْ؛ لِأَنَّ عَرَقَ الْإِنْسَانِ وَالدَّابَّةِ لَيْسَ بِنَجَسٍ وَسَوَاءٌ مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَ الْعَرَقُ مِنْ تَحْتِ مَنْكِبِهِ أَوْ غَيْرِهِ.
Demikian itu, apabila seseorang berkeringat, kemudian menetes keringatnya tersebut di dalam air, maka (tetesan keringat tersebut) tidak menajiskan. Karena keringat manusia dan hewan melata tidak najis, dan sama saja dari tempat yang mana saja keringat itu keluar, dari bawah ketiaknya atau yang lainnya.
وَإِذَا كَانَ الْحَرَامُ مَوْجُودًا فِي الْمَاءِ وَإِنْ كَثُرَ الْمَاءُ لَمْ يَطْهُرْ أَبَدًا بِشَيْءٍ يُنْزَحُ مِنْهُ، وَإِنْ كَثُرَ حَتَّى يَصِيرَ الْحَرَامُ مِنْهُ عَدَمًا لَا يُوجَدُ مِنْهُ فِيهِ شَيْءٌ قَائِمٌ، فَإِذَا صَارَ الْحَرَامُ فِيهِ عَدَمًا طَهُرَ الْمَاءُ، وَذَلِكَ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ أَوْ يَكُونَ مَعِينًا فَتَنْبُعُ الْعَيْنُ فِيهِ فَيَكْثُرُ، وَلَا يُوجَدُ الْمُحَرَّمُ فِيهِ فَإِذَا كَانَ هَكَذَا طَهُرَ وَإِنْ لَمْ يُنْزَحْ مِنْهُ شَيْءٌ.
Dan ketika sesuatu yang haram terdapat dalam air sumur, jika airnya banyak, tidak akan suci selama – lamanya dengan sesuatu ketika airnya habis. Jika airnya banyak hingga menjadi hilang sesuatu yang haram tersebut darinya tidak terdapat lagi di dalamnya, maka ketika sesuatu yang haram itu hilang airnya menjadi suci. Yang demikian itu bahwasanya menuangkan kepadanya air yang selainnya atau terdapat padanya air yang mengalir, maka memancar darinya mata air di dalamnya hingga menjadi banyak airnya. Dan tidaklah terdapat sesuatu yang haram di dalamnya ketika terjadi hal yang demikian dan suci airnya dan ketika tidak akan habis darinya air tersebut.
(قَالَ) : وَإِذَا نَجُسَ الْإِنَاءُ فِيهِ الْمَاءُ الْقَلِيلُ أَوْ الْأَرْضُ، أَوْ الْبِئْرُ ذَاتُ الْبِنَاءِ، فِيهَا الْمَاءُ الْكَثِيرُ بِحَرَامٍ يُخَالِطُهُ فَكَانَ مَوْجُودًا فِيهِ ثُمَّ صَبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ حَتَّى يَصِيرَ الْحَرَامُ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِيهِ. وَكَانَ الْمَاءُ قَلِيلًا فَنَجُسَ، فَصَبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ حَتَّى صَارَ مَاءً لَا يَنْجُسُ مِثْلُهُ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حَرَامٌ- فَالْمَاءُ طَاهِرٌ، وَالْإِنَاءُ، وَالْأَرْضُ الَّتِي الْمَاءُ فِيهِمَا طَاهِرَانِ؛ لِأَنَّهُمَا إنَّمَا نَجُسَا بِنَجَاسَةِ الْمَاءِ، فَإِذَا صَارَ حُكْمُ الْمَاءِ إلَى أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا كَانَ كَذَلِكَ حُكْمُ مَا مَسَّهُ الْمَاءُ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحَوَّلَ حُكْمُ الْمَاءِ، وَلَا يُحَوَّلُ حُكْمُهُ، وَإِنَّمَا هُوَ تَبَعٌ لِلْمَاءِ يَطْهُرُ بِطَهَارَتِهِ، وَيَنْجُسُ بِنَجَاسَتِهِ.
Dan ketika wadah menjadi najis di dalamnya terdapat air yang sedikit, wadah tersebut dari tanah, atau sumur yang ditembok, di dalamnya terdapat air yang banyak yang terdapat dan bercampur dengan sesuatu yang diharamkan, kemudian dituangkan kepadanya air yang lain hingga sesuatu yang haram tersebut menjadi tidak tampak lagi di dalamnya. Dan air yang sedikit airnya maka ia menajiskan. Maka dituangkan air yang lain kepadanya hingga menjadi air yang tidak menajiskan yang semisal dengannya. Dan tidaklah di dalamnya terdapat sesuatu yang haram, maka air tersebut menjadi suci, dan wadah tersebut, dan tanah yang terdapat di dalamnya air kedua – duanya menjadi suci. Karena sesungguhnya keduanya najis karena najisnya air. Maka ketika hukum airnya menjadi suci, maka demikian pula dengan hukumnya sesuatu yang menyentuhnya. Dan tidaklah boleh mengubah hukum air dan tidak boleh mengubah hukumnya (wadah atau bejana tersebut), karena sesungguhnya ia mengikuti hukumnya air, wadah tersebut suci dengan sucinya air, dan najis dengan najisnya air.
وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ قَلِيلًا فِي إنَاءٍ فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ أُرِيقَ وَغُسِلَ الْإِنَاءُ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ غُسِلَ ثَلَاثًا، فَإِنْ غُسِلَ وَاحِدَةً تَأْتِي عَلَيْهِ طَهُرَ، وَهَذَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَالَطَهُ إلَّا أَنْ يَشْرَبَ فِيهِ كَلْبٌ أَوْ خِنْزِيرٌ فَلَا يَطْهُرُ إلَّا بِأَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَإِذَا غَسَلَهُنَّ سَبْعًا جَعَلَ أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ تُرَابًا لَا يَطْهُرُ إلَّا بِذَلِكَ، فَإِنْ كَانَ فِي بَحْرٍ لَا يَجِدُ فِيهِ تُرَابًا فَغَسَلَهُ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ تُرَابٍ فِي التَّنْظِيفِ مِنْ أُشْنَانٍ أَوْ نُخَالَةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا لَا يَطْهُرُ إلَّا بِأَنْ يُمَاسَّهُ التُّرَابَ وَالْآخَرُ يَطْهُرُ بِمَا يَكُونُ خَلَفًا مِنْ التُّرَابِ وَأَنْظَفَ مِنْهُ مِمَّا وَصَفْت كَمَا تَقُولُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ.
Dan ketika air tersebut sedikit di dalam wadah, maka kemudian bercampur dengannya najis, maka menjadikannya jernih dan mencuci wadah tersebut. Dan aku menyukai bila mencuci wadah tersebut tiga kali. Maka ketika mencuci wadah tersebut satu kali wadah tersebut sudah suci. Dan ini berlaku untuk semua najis yang mengenai wadah tersebut kecuali ketika anjing atau babi meminum air di dalam wadah tersebut. Maka wadah tersebut tidaklah suci kecuali dengan mencucinya sebanyak tujuh kali. Ketika mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, dijadikan yang pertama kalinya atau yang terakhir kalinya dengan tanah, tidak mungkin suci kecuali dengan cara seperti ini. Maka ketika berada di laut dan tidak menjumpai tanah, maka mencucinya dengan apa – apa yang bisa menggantikan tanah dalam mensucikan najis dari abu gosok, dedak, atau yang menyerupainya, maka di dalamnya terdapat dua pendapat:
Yang pertama: tidak suci kecuali dengan membasuhnya dengan tanah.
Yang kedua: mensucikan dengan apa – apa yang menjadi pengganti dari tanah dan lebih membersihkan najis tersebut darinya sebagaimana yang telah aku gambarkan, sebagaimana yang aku katakan dalam ‘istinja’ (bercebok dengan batu).
وَإِذَا نَجَّسَ الْكَلْبُ أَوْ الْخِنْزِيرُ بِشُرْبِهِمَا نَجَّسَا مَا مَاسَّا بِهِ الْمَاءَ مِنْ أَبْدَانِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمَا نَجَاسَةٌ،
Dan ketika anjing atau babi menajiskan wadah dengan minum darinya, najis air yang bersentuhan dengannya dan ketika najis tidak ada lagi atas keduanya (sudah dituang air sisa minumnya).
وَكُلُّ مَا لَمْ يَنْجُسْ بِشُرْبِهِ فَإِذَا أَدْخَلَ فِي الْمَاءِ يَدًا أَوْ رِجْلًا أَوْ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ لَمْ يُنَجِّسْهُ إلَّا بِأَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ قَذَرٌ فَيُنَجِّسُ الْقَذَرُ الْمَاءَ لَا جَسَدُهُ
Dan setiap yang tidak menajiskan dengan minumnya, maka ketika masuk di dalam air tersebut tangan, atau seseorang, atau sesuatu dari badannya, tidak menajiskannya kecuali ketika padanya terdapat kotoran (tahi) maka tahi tersebut menajiskan air bukan jasadnya yang menajiskan.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ جَعَلْت الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ إذَا شَرِبَا فِي إنَاءٍ لَمْ يُطَهِّرْهُ إلَّا سَبْعُ مَرَّاتٍ وَجَعَلْت الْمَيْتَةَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ أَوْ الدَّمَ طَهَّرَتْهُ مَرَّةٌ إذَا لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَثَرٌ فِي الْإِنَاءِ؟ قِيلَ لَهُ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ketika berkata seseorang, maka bagaimana engkau menganggap anjing dan babi ketika minum di dalam wadah tidak dapat mensucikannya (wadah tersebut) kecuali dengan tujuh kali (mencuci) dan engkau menjadikan bangkai ketika terdapat di dalam wadah tersebut atau darah, cukup dicuci sekali saja ketika tidak terdapat padanya satu dari semuanya itu bekas di dalam wadah tersebut? Dikatakan kepadanya, aku mengikuti Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu ’Uyaynah dari Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”ketika anjing menjilat di dalam wadah seseorang diantara kalian, maka cucilah wadah tersebut tujuh kali” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/234, nomor 279)[i][4]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah berkata: ”Rasullullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ketika anjing minum di dalam wadah seseorang diantara kalian, maka cucilah wadah tersebut tujuh kali” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/330 nomor 172), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/234 nomor 279), HR. Malik dalam al-Muwaththa’ nya (1/34 nomor 90)
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِتُرَابٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ’Uyaynah dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”ketika anjing menjilat wadah seseorang di antara kalian maka cucilah wadah tersebut tujuh kali, yang pertama atau yang terakhirnya dengan menggunakan tanah” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (80), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/241), HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/151-152 nomor 91, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hadits hasan shahih)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَقُلْنَا فِي الْكَلْبِ بِمَا أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَكَانَ الْخِنْزِيرُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرٍّ مِنْ حَالِهِ لَمْ يَكُنْ فِي خَيْرٍ مِنْهَا فَقُلْنَا بِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ، وَقُلْنَا فِي النَّجَاسَةِ سِوَاهُمَا بِمَا:
Imam asy-Syafi’i berkata: maka kami katakan di dalam masalah (najisnya) anjing dengan apa – apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan adapun babi ketika tidak ada di dalamnya keburukan dari berubahnya, tidak ada padanya kebaikan darinya (maksudnya babi tidaklah lebih baik daripada anjing, bahkan lebih buruk lagi). Maka kami katakan dengannya qiyas atasnya. Dan kami katakan tentang najis yang lain (yaitu najis seperti bangkai dan darah sebagaimana tersebut di atas) dengan hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ أَنَّهُ سَمِعَ امْرَأَتَهُ فَاطِمَةَ بِنْتَ الْمُنْذِرِ تَقُولُ سَمِعْت جَدَّتِي أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ تَقُولُ سَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: «حُتِّيهِ ثُمَّ اُقْرُصِيهِ ثُمَّ رُشِّيهِ وَصَلِّي فِيهِ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari Hisyam bin ‘Urwah bahwasanya dia mendengar istrinya Fatimah binti al-Mundzir mengatakan aku mendengar nenekku Asma’ binti Abu Bakr mengatakan, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian, Rasulullah bersabda: “gosoklah ia kemudian keriklah kemudian percikilah ia dan sholatlah di dalamnya” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (8), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan bahwa hadits ini hadits shahih).[i][5]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ سَأَلَتْ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْت إحْدَانَا إذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَهَا: «إذَا أَصَابَ ثَوْبَ إحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّ فِيهِ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fathimah binti al-Mundzir dari Asma’ dia berkata, seorang wanita bertanya kepada Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, aku melihat salah seorang di antara kami ketika pakaiannya terkena darah haid, bagaimana aku harus membuatnya? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “ketika pakaian salah seorang di antara kalian terkena darah haid, maka keriklah ia kemudian perciki ia dengan air kemudian shalatlah di dalamnya” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/395 nomor 227 dan 307), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/240 nomor 291)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِغَسْلِ دَمِ الْحَيْضَةِ، وَلَمْ يُوَقِّتْ فِيهِ شَيْئًا وَكَانَ اسْمُ الْغُسْلِ يَقَعُ عَلَى غَسْلِهِ مَرَّةً وَأَكْثَرَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] فَأَجْزَأَتْ مَرَّةٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ هَذَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْغُسْلِ
Imam asy-Syafi’i berkata: maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci darah haid, dan tidak ditentukan waktunya (jumlahnya) di dalamnya sedikitpun. Dan adalah kata “al-ghuslu” (basuhan/cucian) terdapat pada mencucinya satu kali atau lebih sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala:
{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6]
“Maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian hingga kedua siku” (QS. Al-Maidah: 6)
Maka boleh membasuhnya satu kali, karena setiap hal ini terdapat padanya kata “al-ghuslu” (basuhan/cucian).
(قَالَ) : فَكَانَتْ الْأَنْجَاسُ كُلُّهَا قِيَاسًا عَلَى دَمِ الْحَيْضَةِ، لِمُوَافَقَتِهِ مَعَانِي الْغُسْلِ وَالْوُضُوءِ فِي الْكِتَابِ وَالْمَعْقُولِ، وَلَمْ نَقِسْهُ عَلَى الْكَلْبِ؛ لِأَنَّهُ تَعَبُّدٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ اسْمَ الْغُسْلِ يَقَعُ عَلَى وَاحِدَةٍ وَأَكْثَرَ مِنْ سَبْعٍ، وَأَنَّ الْإِنَاءَ يُنَقَّى بِوَاحِدَةٍ، وَبِمَا دُونَ السَّبْعِ، وَيَكُونُ بَعْدَ السَّبْعِ فِي مُمَاسَّةِ الْمَاءِ مِثْلَ قَبْلِ السَّبْعِ؟
Maka adalah najis – najis tersebut semuanya diqiyaskan atas darah haid. Untuk menyepakatinya makna ‘al-ghuslu’ (basuhan atau cucian) dan wudlu di dalam al-kitab dan akal. Dan tidaklah mencelanya atas anjing, karena hal itu adalah ibadah, tidakkah anda melihat bahwasanya kata ‘al-ghuslu’ (basuhan atau cucian) itu terdapat pada satu dan lebih banyak dari tujuh. Dan bahwasanya wadah yang dibersihkan atau disucikan dengan satu kali basuhan, dan tanpa tujuh kali basuhan, dan adalah setelah tujuh kali bersentuhan dengan air seperti atau sebagaimana sebelum ketujuh kalinya?
(قَالَ) : وَلَا نَجَاسَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ الْأَحْيَاءِ مَاسَّتْ مَاءً قَلِيلًا، بِأَنْ شَرِبَتْ مِنْهُ أَوْ أَدْخَلَتْ فِيهِ شَيْئًا مِنْ أَعْضَائِهَا، إلَّا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ، وَإِنَّمَا النَّجَاسَةُ فِي الْمَوْتَى، أَلَا تَرَى أَنَّ الرَّجُلَ يَرْكَبُ الْحِمَارَ، وَيَعْرَقُ الْحِمَارُ وَهُوَ عَلَيْهِ، وَيَحِلُّ مَسُّهُ؟ فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: مَا الدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ؟
Dan tidaklah najis di dalam segala sesuatu dari makhluk hidup (binatang) yang menyentuh air yang sedikit. Baik dengan cara meminumnya atau masuk ke dalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya, kecuali anjing dan babi. Dan sesungguhnya najis di dalam binatang yang telah mati. Tidakkah anda melihat bahwasanya seseorang menunggangi keledai, dan keledai tersebut berkeringat sedangkan dia ada di atasnya, dan dia menghalalkan untuk menyentuhnya? Ketika seseorang berkata: apakah dalil atas hal itu?
قِيلَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - سُئِلَ: أَيُتَوَضَّأُ بِمَا أَفَضَلَتْ الْحُمُرُ؟ فَقَالَ: نَعَمْ وَبِمَا أَفَضَلَتْ السِّبَاعُ كُلُّهَا» .
Dikatakan, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Dawud bin al-Hushain dari ayahnya dari Jabir bin ‘Abdillah, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: apakah berwudlu dengan apa – apa sisa keledai? Maka Rasul bersabda: ya, dan dengan apa – apa sisa binatang buas semuanya” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 22), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/249), Ibnu Mulaqqin di dalam al-Badr al-Munir tidak mengatakan secara jelas derajat hadits ini akan tetapi beliau menjelaskan perawi – perawi yang ada di dalamnya diantaranya adalah Ibrahim bin Abi Yahya yang oleh jumhur dinilai dhoif).[i][6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ أَبِي حَبِيبَةَ أَوْ أَبِي حَبِيبَةَ " شَكَّ الرَّبِيعُ " عَنْ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِمِثْلِهِ
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Said bin Salim dari Ibnu Abi Habibah –Ar-Rabi’ ragu- dari Dawud bin al-Hushain dari Jabin bin Abdillah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan yang semisal (hadits di atas).
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ حَمِيدَةَ بِنْتِ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ «عَنْ كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، وَكَانَتْ تَحْتَ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ فَسَكَبَتْ لَهُ وُضُوءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ مِنْهُ قَالَتْ: فَرَآنِي أَنْظُرُ إلَيْهِ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّهَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَوْ الطَّوَّافَاتِ» .
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ishak bin Abdillah dari Hamidah binti ‘Ubaid bin Rifa’ah, “dari Kabsyah binti Ka’bi bin Malik dan adalah di bawah ibnu Abi Qatadah bahwa Aba Qatadah masuk maka menuangkan baginya air wudlu maka datang kucing maka ia minum darinya, Ia berkata: maka ia melihatku memandanginya maka ia bertanya, "Apakah engkau heran, wahai putri saudaraku? Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kamu " (HR. Malik dalam Muwaththa’ nya (1/22/23), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 9), HR. Ahmad dalam Musnad-nya (5/296, 303,309), HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/303, nomor 736), HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/184-185, nomor 76), HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/153-154, nomor 96), HR. Nasa’i dalam Sunan-nya (1/57, nomor 68), HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/131, nomor 367), HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/55, nomor 104), HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (4/114-115, nomor 1299), HR. Hakim dalam Mustadrak-nya (1/160), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/245), Ibnu Mulaqqin mengatakan dalam al-Badr al-Munir: hadits ini hadits shahih masyhur).[i][7]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِثْلَهُ أَوْ مِثْلَ مَعْنَاهُ
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: telah mengabarkan kepada kami ats-Tsiqah dari Yahya bin Abi Katsir dari ‘Abdillah bin Abi Qatadah dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hadits yang semisal dengannya atau yang semisal maknanya.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَقِسْنَا عَلَى مَا عَقَلْنَا مِمَّا وَصَفْنَا، وَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَبَيْنَ مَا سِوَاهُمَا مِمَّا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهَا شَيْءٌ حُرِّمَ أَنْ يُتَّخَذَ إلَّا لِمَعْنًى، وَالْكَلْبُ حُرِّمَ أَنْ يُتَّخَذَ لَا لِمَعْنَى، وَجَعَلَ يَنْقُصُ مِنْ عَمَلِ مَنْ اتَّخَذَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْنًى كُلَّ يَوْمٍ - قِيرَاطٌ أَوْ قِيرَاطَانِ، مَعَ مَا يَتَفَرَّقُ بِهِ مِنْ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا هُوَ فِيهِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَفَضْلُ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ الدَّوَابِّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، أَوْ لَا يُؤْكَلُ حَلَالٌ إلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka berdasarkan atas apa – apa yang terdapat pada pemikiran kami dari apa – apa yang kami gambarkan, adalah pembagian antara anjing, babi, dan antara yang selainnya dari yang tidak dimakan dagingnya, bahwasanya ia (hewan yang tidak dimakan dagingnya) tidak dianggap haram kecuali secara maknawi saja. Dan anjing diharamkan karena ditetapkan sebagai haram tidak karena secara maknawi saja, serta anjing menjadikan menurun amal seseorang yang menjadikannya dari selain makna (maksudnya orang yang memeliharanya di rumah tanpa keperluan), setiap hari – satu qirath (4/6 dinar) atau dua qirath[i][8], dan bahwasanya Malaikat tidak masuk kedalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing dan yang lainnya (lukisan)[i][9]. Maka yang lebih utama adalah bahwa segala jenis hewan yang dimakan dagingnya atau yang tidak dimakan dagingnya adalah halal kecuali anjing dan babi.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا تَغَيَّرَ الْمَاءُ الْقَلِيلُ أَوْ الْكَثِيرُ فَأَنْتَنَ أَوْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ بِلَا حَرَامٍ خَالَطَهُ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ، وَكَذَلِكَ لَوْ بَالَ فِيهِ إنْسَانٌ فَلَمْ يَدْرِ أَخَالَطَهُ نَجَاسَةٌ أَمْ لَا وَهُوَ مُتَغَيِّرُ الرِّيحِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الطَّعْمِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى تُعْلَمَ نَجَاسَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُتْرَكُ لَا يُسْتَقَى مِنْهُ فَيَتَغَيَّرُ، وَيُخَالِطُهُ الشَّجَرُ وَالطُّحْلُبُ فَيُغَيِّرُهُ.
Imam asy-Syafi’i berkata: apabila air yang sedikit atau banyak telah berubah sehingga membusuk atau berubah warnanya dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagi air yang suci. Demikian juga halnya apabila seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui apakah air itu bercampur najis atau tidak sementara warna, bau dan rasanya telah berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab najisnya. Karena ketika air itu dibiarkan dan tidak diambil sebagai air minum, maka barangkali saja ia berubah dikarenakan bercampur dengan pohon dan lumut.
(قَالَ) : وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ.
Apabila sesuatu yang halal terjatuh pada air dan merubah bau dan rasanya, akan tetapi air tidak menjadi rusak olehnya, maka seseorang bisa menggunakannya untuk berwudhu; seperti apabila yang jatuh ke dalam air itu adalah susu atau ‘ter’ atau yang semisalnya sehingga menimbulkan aroma tersendiri.
وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ وَإِنْ طُرِحَ مِنْهُ فِيهِ شَيْءٌ قَلِيلٌ يَكُونُ مَا طُرِحَ فِيهِ مِنْ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ، وَيَكُونُ لَوْنُ الْمَاءِ الظَّاهِرُ وَلَا طَعْمَ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا فِيهِ تَوَضَّأَ بِهِ، وَهَذَا مَاءٌ بِحَالِهِ وَهَكَذَا كُلُّ مَا خَالَطَ الْمَاءَ مِنْ طَعَامٍ، وَشَرَابٍ وَغَيْرِهِ إلَّا مَا كَانَ الْمَاءُ قَارًّا فِيهِ، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ قَارًّا فِي الْأَرْضِ فَأَنْتَنَ أَوْ تَغَيَّرَ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا اسْمَ لَهُ دُونَ الْمَاءِ، وَلَيْسَ هَذَا كَمَا خُلِطَ بِهِ مِمَّا لَمْ يَكُنْ فِيهِ.
Adapun jika air bercampur dengan susu, tepung, atau madu, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat digunakan untuk berwudhu dikarenakan air yang didominasi oleh benda-benda itu dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, seperti dikatakan; air tepung, air susu, atau air madu yang bercampur.
Kemudian apabila sesuatu yang mempunyai kadar rendah dimasukkan ke dalam air tersebut; baik berupa tepung, susu atau madu, lalu benda-benda ini tampak pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh digunakan untuk berwudhu, sebab air itu tidak berubah (sebagaimana adanya). Dan air ini dengan keadannya dan setiap apa – apa yang mencampuri air dari makanan dan minuman dan yang selainnya kecuali apa – apa yang menetap pada air tersebut, maka apabila air menetap pada bumi, sehingga membusuk atau berubah, maka dibolehkan berwudlu dengannya, karena air tersebut tidak akan memiliki nama tanpa adanya air. Dan tidaklah hal ini (membusuk atau berubahnya air) sebagaimana bercampur dengan air tersebut dari apa – apa yang tidak terdapat padanya.
وَلَوْ صَبَّ عَلَى الْمَاءِ مَاءَ وَرْدٍ فَظَهَرَ رِيحُ مَاءِ الْوَرْدِ عَلَيْهِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ وَالْمَاءُ الظَّاهِرُ لَا مَاءُ الْوَرْدِ (قَالَ) : وَكَذَلِكَ لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ قَطْرَانٌ فَظَهَرَ رِيحُ الْقَطْرَانِ فِي الْمَاءِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّ الْقَطْرَانَ وَمَاءَ الْوَرْدِ يَخْتَلِطَانِ بِالْمَاءِ فَلَا يَتَمَيَّزَانِ مِنْهُ.
Demikian halnya jika dituangkan air mawar di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma air mawar, maka tidak boleh berwudhu dengannya. Karena air tersebut sudah didominasi oleh air mawar, dan air secara dzahir bukanlah air mawar. Demikian halnya jika dituangkan padanya minyak kayu cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu cendana, maka tidak boleh berwudlu dengannya. Akan tetapi jika tidak menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk berwudlu dengannya; karena apabila minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak dapat dibedakan.
وَلَوْ صُبَّ فِيهِ دُهْنٌ طَيِّبٌ أَوْ أُلْقِيَ فِيهِ عَنْبَرٌ أَوْ عُودٌ أَوْ شَيْءٌ ذُو رِيحٍ لَا يَخْتَلِطُ بِالْمَاءِ فَظَهَرَ رِيحُهُ فِي الْمَاءِ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْهُ يُسَمَّى الْمَاءُ مَخُوضًا بِهِ، وَلَوْ كَانَ صُبَّ فِيهِ مِسْكٌ أَوْ ذَرِيرَةٌ أَوْ شَيْءٌ يَنْمَاعُ فِي الْمَاءِ حَتَّى يَصِيرَ الْمَاءُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ مِنْهُ فَظَهَرَ فِيهِ رِيحٌ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ مَاءٌ مَخُوضٌ بِهِ وَإِنَّمَا يُقَالُ لَهُ مَاءُ مِسْكٍ مَخُوضَةٍ، وَذَرِيرَةٍ مَخُوضَةٍ وَهَكَذَا كُلُّ مَا أُلْقِيَ فِيهِ مِنْ الْمَأْكُولِ مِنْ سَوِيقٍ أَوْ دَقِيقٍ وَمَرَقٍ وَغَيْرِهِ إذَا ظَهَرَ فِيهِ الطَّعْمُ وَالرِّيحُ مِمَّا يَخْتَلِطُ فِيهِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ حِينَئِذٍ مَنْسُوبٌ إلَى مَا خَالَطَهُ مِنْهُ.
Jika minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang mempunyai aroma dituangkan ke dalam air, namun tidak dapat melebur di dalamnya melainkan menimbulkan bau, maka dibolehkan berwudhu dengan air itu, karena tidak ada sesuatu pun dari benda-benda tersebut yang bercampur dengannya, dan air tersebut dinamakan dengan zat – zat yang tercebur di dalamnya.
Jika dituangkan minyak kesturi atau dzarirah (sejenis wangi-wangian) atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat dibedakan, lalu timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudlu dengan air itu, karena dia bukan air lagi, tapi air yang bercampur dengan benda. Dan disebut air tersebut sebagai air minyak kesturi atau air dzarirah dan yang lainnya yang dijatuhkan di dalamnya dari hal – hal yang dimakan seperti tepung atau kaldu dan yang selainnya ketika tampak padanya rasanya atau baunya dari apa – apa yang mencampurinya maka tidak boleh berwudlu dengannya karena air tersebut saat itu ternisbatkan kepada apa yang mencampurinya.
Pasal tentang Junub dan yang Selainnya
[فَصْلٌ الْجُنُبُ وَغَيْرُهُ]
Pasal tentang Junub dan yang Selainnya
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَغْتَسِلُ مِنْ الْقَدَحِ، وَهُوَ الْفَرَق وَكُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: telah mengabarkan kepada kami Sufyan, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dari baskom, yaitu satu faraq[i][1], dan adalah aku mandi, aku dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu wadah yang sama. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/255 nomor 319/41))[i][2]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إنَّ الرِّجَالَ، وَالنِّسَاءَ كَانُوا يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَمِيعًا
Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwasanya dia berkata: Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, laki – laki dan perempuan berwudlu bersama – sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 193)[i][3], HR. An-Nasa’i dalam Sunan-nya (Nomor 71)[i][4])
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ «كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah dia berkata: Adalah aku mandi, aku dan Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah yang sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/433 nomor 250), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/255 nomor 319))[i][5]
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَالنَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari ‘Amri bin Diinar dari Abi asy-Sya’tsai dari Ibnu ‘Abbas dari Maimunah bahwasanya dia mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah yang sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/436 nomor 253), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/257 nomor 322))[i][6]
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ «عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ فَرُبَّمَا قُلْت لَهُ أَبْقِ لِي أَبْقِ لِي»
Telah mengabarkan kepada kami Sufyan Ibnu ‘Uyaynah dari ‘Ashim dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah dari Aisyah dia berkata: adalah aku mandi, aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah maka kadang - kadang aku berkata kepadanya, sisakan untukku, sisakan untukku. (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (nomor 107)[i][7], HR. Ahmad dalam Musnad-nya (nomor 24599))[i][8]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) رُوِيَ عَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ عَنْ الْقَاسِمِ «عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ الْجَنَابَةِ»
Imam asy-Syafi’i berkata: diriwayatkan dari Salim Abi an-Nadhr dari al-Qasim dari ‘Aisyah dia berkata, aku mandi, aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah karena junub. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/61 nomor 263))[i][9]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا نَأْخُذُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِفَضْلِ الْجُنُبِ، وَالْحَائِضِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اغْتَسَلَ وَعَائِشَةَ مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ الْجَنَابَةِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ صَاحِبِهِ، وَلَيْسَتْ الْحَيْضَةُ فِي الْيَدِ وَلَيْسَ يَنْجُسُ الْمُؤْمِنُ إنَّمَا هُوَ تَعَبُّدٌ بِأَنْ يُمَاسَّ الْمَاءَ فِي بَعْضِ حَالَتِهِ دُونَ بَعْضٍ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan dengan ini kami mengambil bahwa tidak mengapa mandi dari sisa orang junub dan haid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan ‘Aisyah dari satu wadah karena junub, maka setiap salah satunya mandi dari sisa yang lainnya. Dan tidaklah haid itu di dalam tangan dan tidak pula najis orang yang mukmin. Sesungguhnya hal itu (mandi) adalah ibadah dengan menyentuh air dalam sebagian hal, dan tanpa menyentuh air pada sebagian hal yang lain.
Air Orang Nashrani dan Wudlu Darinya
[مَاء النَّصْرَانِيّ وَالْوُضُوءُ مِنْهُ]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ تَوَضَّأَ مِنْ مَاءِ نَصْرَانِيَّةٍ فِي جَرَّةِ نَصْرَانِيَّةٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَاءِ الْمُشْرِكِ وَبِفَضْلِ وُضُوئِهِ مَا لَمْ يَعْلَمْ فِيهِ نَجَاسَةً؛ لِأَنَّ لِلْمَاءِ طَهَارَةً عِنْدَ مَنْ كَانَ وَحَيْثُ كَانَ حَتَّى تُعْلَمَ نَجَاسَةٌ خَالَطَتْهُ.
Air Orang Nashrani dan Wudlu Darinya
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyaynah dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa ‘Umar bin Khattab berwudlu dari air wanita nashrani dalam wadah wanita nashrani. (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/52 nomor 129)[i][1], Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Khulashatul Ahkam bahwa hadits ini sanadnya shahih[i][2])
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak mengapa wudlu dari air orang yang musyrik dan dengan air sisa wudlunya selama tidak diketahui di dalamnya terdapat najis. Karena sesungguhnya air itu suci disisi siapa saja dan di mana saja, hingga diketahui najis telah mencampurinya.
Bab Bejana – Bejana yang Boleh Berwudlu di Dalamnya dan yang Tidak Boleh
[بَابُ الْآنِيَةِ الَّتِي يُتَوَضَّأُ فِيهَا وَلَا يُتَوَضَّأُ]
Bab Bejana – Bejana yang Boleh Berwudlu di Dalamnya dan yang Tidak Boleh
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ «مَرَّ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ قَدْ كَانَ أَعْطَاهَا مَوْلَاةً لِمَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ فَهَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا؟ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّهَا مَيِّتَةٌ فَقَالَ إنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai domba yang diberikan kepada budaknya Maimunah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi berkata apakah kalian tidak mengambil manfaat dengan kulitnya? Mereka berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya itu adalah bangkai, Rasul bersabda: sesungguhnya yang diharamkan hanyalah memakannya. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/276 – 277 nomor 363/101)[i][1]
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِثْلَهُ،
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari az-Zuhri dari ‘Ubaidillah dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hadits yang seperti itu.
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ سَمِعَ ابْنَ وَعْلَةَ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ سَمِعَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ «أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari Zaid bin Aslam mendengar Ibnu Wa’lah mendengar Ibnu ‘Abbas mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila kulit telah disamak, maka ia telah suci. (HR. Tirmidzi dalam Jami’-nya (4/193-194, nomor 1728), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 10), Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini adalah hadits hasan shahih, Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan hadits ini hadits shahih)[i][2].
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ ابْنِ وَعْلَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Wa’lah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: Ketika kulit telah disamak, maka ia telah suci. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/277, nomor 366)[i][3]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَمَرَ أَنْ يُسْتَمْتَعَ بِجُلُودِ الْمَيْتَةِ إذَا دُبِغَتْ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yazid bin ‘Abdillah bin Qusayth dari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Tsauban dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan mengambil manfaat dari kulit bangkai hewan ketika disamak. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (nomor 4124)[i][4], HR. Nasa’i dalam Sunan-nya (nomor 4252)[i][5], HR. Malik dalam Muwaththa’ –nya (nomor 485/1831)[i][6], HR. Ahmad dalam Musnad-nya (nomor 24730)[i][7], HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (nomor 1286)[i][8], HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra-nya (nomor 51)[i][9], Imam an-Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Sharh al-Muhadzab mengatakan: hadits ini hadits hasan dengan sanadnya yang hasan)[i][10]).
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَيُتَوَضَّأُ فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ كُلِّهَا إذَا دُبِغَتْ وَجُلُودِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنْ السِّبَاعِ قِيَاسًا عَلَيْهَا إلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ، وَالْخِنْزِيرِ فَإِنَّهُ لَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ؛ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ فِيهِمَا وَهُمَا حَيَّانِ قَائِمَةٌ، وَإِنَّمَا يَطْهُرُ بِالدَّبَّاغِ مَا لَمْ يَكُنْ نَجِسًا حَيًّا.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka boleh berwudlu dalam kulit – kulit bangkai seluruhnya ketika telah disamak. Kulit – kulit binatang yang tidak dimakan dagingnya dari binatang – binatang yang buas juga diqiyaskan atasnya kecuali kulit anjing dan babi. Maka sesungguhnya ia (kulit anjing dan babi tersebut) tidak suci dengan menyamaknya karena najis di dalam keduanya ada sejak keduanya hidup. Dan sesungguhnya suci dengan menyamak hewan – hewan yang tidak najis ketika hidup.
وَالدِّبَاغُ بِكُلِّ مَا دَبَغَتْ بِهِ الْعَرَبُ مِنْ قَرْظٍ، وَشَبٍّ وَمَا عَمِلَ عَمَلَهُ مِمَّا يَمْكُثُ فِيهِ الْإِهَابُ حَتَّى يُنَشِّفَ فُضُولَهُ وَيُطَيِّبَهُ وَيَمْنَعَهُ الْفَسَادَ إذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ،
Dan disamak dari setiap apa – apa yang orang arab menyamaknya dari daun yang dapat dipakai untuk menyamak, dan syabbin[i][11], dan apa – apa yang dilakukan terhadap yang tinggal di dalam kulit tersebut hingga kering lendir – lendirnya dan membaguskannya serta menjaganya dari kerusakan ketika tertuang air kepadanya.
وَلَا يَطْهُرُ إهَابُ الْمَيْتَةِ مِنْ الدِّبَاغِ إلَّا بِمَا وَصَفْت، وَإِنْ تَمَعَّطَ شَعْرُهُ فَإِنَّ شَعْرَهُ نَجِسٌ، فَإِذَا دُبِغَ وَتُرِكَ عَلَيْهِ شَعْرُهُ فَمَاسَّ الْمَاءُ شَعْرَهُ نَجُسَ الْمَاءُ،
Dan tidaklah suci kulit bangkai binatang buas kecuali dengan apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan jika rontok rambutnya maka sesungguhnya rambutnya adalah najis. Maka ketika disamak dan ditinggalkan atasnya rambutnya maka kemudian rambut tersebut menyentuh air maka airnya menjadi najis.
وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ فِي بَاطِنِهِ وَكَانَ شَعْرُهُ ظَاهِرًا لَمْ يَنْجُسْ الْمَاءُ إذَا لَمْ يُمَاسَّ شَعْرَهُ، فَأَمَّا جِلْدُ كُلِّ ذَكِيٍّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْرَبَ وَيَتَوَضَّأَ فِيهِ إنْ لَمْ يُدْبَغْ؛ لِأَنَّ طَهَارَةَ الذَّكَاةِ وَقَعَتْ عَلَيْهِ فَإِذَا طَهُرَ الْإِهَابُ صُلِّيَ فِيهِ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ،
Dan apabila air terdapat di bagian dalam dan rambutnya di bagian luar, tidak menajiskan air ketika tidak menyentuh rambutnya. Maka adapun kulit binatang yang disembelih yang dimakan dagingnya maka tidak mengapa minum dan berwudlu di dalamnya ketika tidak disamak. Hal ini karena sucinya dengan penyembelihan dan terdapat padanya. Maka ketika kulit tersebut suci, maka boleh shalat di dalamnya dan shalat atasnya.
وَجُلُودُ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ السِّبَاعِ وَغَيْرِهَا مِمَّا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ سَوَاءٌ ذَكِيُّهُ وَمَيِّتُهُ؛ لِأَنَّ الذَّكَاةَ لَا تُحِلُّهَا فَإِذَا دُبِغَتْ كُلُّهَا طَهُرَتْ؛ لِأَنَّهَا فِي مَعَانِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ إلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فَإِنَّهُمَا لَا يَطْهُرَانِ بِحَالٍ أَبَدًا
Dan kulit – kulit beberapa binatang buas dan yang selainnya dari yang tidak dimakan dagingnya maka sama saja antara yang disembelih ataupun bangkainya. Karena hewan yang disembelih itu tidak halal maka ketika disamak semuanya maka kulit tersebut akan menjadi suci. Hal ini karena kulit tersebut tercakup di dalam makna kulit – kulit bangkai kecuali kulit anjing dan babi maka sesungguhnya keduanya tidak akan suci dengan disamak selama – lamanya.
(قَالَ) : وَلَا يَتَوَضَّأُ وَلَا يَشْرَبُ فِي عَظْمِ مَيْتَةٍ وَلَا عَظْمِ ذَكِيٍّ لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِثْلِ عَظْمِ الْفِيلِ وَالْأَسَدِ وَمَا أَشْبَهَهُ؛ لِأَنَّ الدِّبَاغَ وَالْغُسْلَ لَا يُطَهِّرَانِ الْعَظْمَ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَكْرَهُ أَنْ يُدَهَّنَ فِي مُدْهُنٍ مِنْ عِظَامِ الْفِيلِ؛ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak boleh berwudlu dan minum di dalam tulang bangkai dan tidak pula dari tulang hewan yang disembelih yang tidak dimakan dagingnya seperti tulang gajah, tulang singa, dan yang menyerupainya. Hal ini karena penyamakan dan pencucian tidak mensucikan tulang tersebut.
Meriwayatkan ‘Abdullah bin Dinar bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Umar memakruhkan meminyaki dalam botol minyak yang terbuat dari tulang gajah, karena tulang tersebut adalah bangkai.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَنْ تَوَضَّأَ فِي شَيْءٍ مِنْهُ أَعَادَ الْوُضُوءَ وَغَسَلَ مَا مَسَّهُ مِنْ الْمَاءِ الَّذِي كَانَ فِيهِ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka siapa saja yang berwudlu di dalam segala sesuatu yang berasal darinya (tulang atau segala sesuatu selain kulit yang disamak) maka ia harus mengulangi wudlunya dan mencuci apa – apa yang menyentuhnya, dari air yang terdapat di dalamnya (mencuci apa – apa yang disentuh oleh air yang terdapat dalam tulang tsb).
Bejana – Bejana Selain Kulit
[الْآنِيَةُ غَيْرُ الْجُلُودِ]
Bejana – Bejana Selain Kulit
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَكْرَهُ إنَاءً تُوُضِّئَ فِيهِ مِنْ حِجَارَةٍ ، وَلَا حَدِيدٍ ، وَلَا نُحَاسٍ ، وَلَا شَيْءٍ غَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ إلَّا آنِيَةَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، فَإِنِّي أَكْرَهُ الْوُضُوءَ فِيهِمَا.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak makruh wudlu dari bejana yang terbuat dari kayu, besi, tembaga, dan dari segala sesuatu selain yang berasal dari makhluk hidup kecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak. Maka sesungguhnya aku memakruhkan wudlu di dalam keduanya (bejana yang terbuat dari emas dan perak tersebut).
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - " أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ‘Abdillah bin ‘Abdi ar-Rahman bin Abi Bakrin dari Ummi Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berkata: “Orang – orang yang minum di dalam wadah/bejana yang terbuat dari perak sesungguhnya ia menuang api jahannam di dalam perutnya” (HR. Malik dalam Muwaththa’ nya (2/705, nomor 11), HR. Bukhari dalam Shahih-nya (10/98, nomor 5634), HR. Muslim dalam Shahih-nya (3/1634, nomor 2065))[i][1]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ تَوَضَّأَ أَحَدٌ فِيهَا، أَوْ شَرِبَ، كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُ، وَلَمْ آمُرْهُ يُعِيدُ الْوُضُوءَ، وَلَمْ أَزْعُمْ أَنَّ الْمَاءَ الَّذِي شَرِبَ، وَلَا الطَّعَامَ الَّذِي أَكَلَ فِيهَا مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ، وَكَانَ الْفِعْلُ مِنْ الشُّرْبِ فِيهَا مَعْصِيَةً،
Imam asy-Syafi’i berkata: maka ketika seseorang berwudlu di dalamnya, atau minum di dalamnya, aku memakruhkan yang demikian itu baginya. Dan aku tidaklah memerintahkannya mengulangi wudlunya. Dan aku tidak berkata bahwasanya air yang diminum dan makanan yang dimakan di dalamnya adalah haram atasnya. Dan adalah perbuatan minum di dalamnya tersebut adalah maksiat.
فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يُنْهَى عَنْهَا وَلَا يَحْرُمُ الْمَاءُ فِيهَا؟ قِيلَ لَهُ - إنْ شَاءَ اللَّهُ - إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إنَّمَا نَهَى عَنْ الْفِعْلِ فِيهَا لَا عَنْ تِبْرِهَا وَقَدْ فُرِضَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ وَتَمَوَّلَهَا الْمُسْلِمُونَ وَلَوْ كَانَتْ نَجِسًا لَمْ يَتَمَوَّلْهَا أَحَدٌ وَلَمْ يَحِلَّ بَيْعُهَا وَلَا شِرَاؤُهَا.
Maka jika dikatakan: maka bagaimana melarang darinya dan tidak mengharamkan air yang terdapat di dalamnya? Dikatakan kepadanya: insya Allah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam ketika melarang dari perbuatan tersebut tidaklah dari kerusakannya (bejana perak tersebut), dan sungguh difardlukan atasnya zakat dan kaum muslimin menjadikannya harta, apabila perak tersebut adalah najis, tidaklah seseorang menjadikannya harta dan tidaklah halal menjual dan membelinya.
Bab Air yang Meragukan di Dalamnya
[بَابُ الْمَاءِ يَشُكُّ فِيهِ]
Bab Air yang Meragukan di Dalamnya
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُسَافِرًا، وَكَانَ مَعَهُ مَاءٌ، فَظَنَّ أَنَّ النَّجَاسَةَ خَالَطَتْهُ، فَتَنَجَّسَ، وَلَمْ يَسْتَيْقِنْ، فَالْمَاءُ عَلَى الطَّهَارَةِ، وَلَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ، وَيَشْرَبَهُ، حَتَّى يَسْتَيْقِنَ مُخَالَطَةَ النَّجَاسَةِ بِهِ،
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: dan ketika seseorang dalam perjalanan, dan terdapat air bersamanya, sedangkan dia menduga bahwa terdapat najis yang bercampur dengannya, maka air tersebut najis dan menajiskan. Dan bila tidak yakin/tidak pasti, maka air tersebut suci dan boleh baginya berwudlu dan meminumnya hingga yakin/pasti bahwa najis telah bercampur dengannya.
وَإِنْ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ وَكَانَ يُرِيدُ أَنْ يُهْرِيقَهُ، وَيُبَدِّلَهُ بِغَيْرِهِ، فَشَكَّ أَفَعَلَ أَمْ لَا؟ فَهُوَ عَلَى النَّجَاسَةِ، حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ أَهْرَاقَهُ، وَأَبْدَلَ غَيْرَهُ،
Dan apabila yakin terdapat najis dan ingin menuangkannya, dan menukarnya dengan selainnya, maka kemudian ragu apakah sudah melakukannya ataukah belum? Maka dia (air tersebut) adalah najis, hingga yakin/pasti bahwasanya dia telah menuangkannya dan menggantinya dengan selainnya.
وَإِذَا قُلْتُ فِي الْمَاءِ: فَهُوَ عَلَى النَّجَاسَةِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ، إنْ لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ، وَلَهُ إنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ أَنْ يَشْرَبَهُ؛ لِأَنَّ فِي الشُّرْبِ ضَرُورَةَ خَوْفِ الْمَوْتِ
Dan ketika aku mengatakan tentang air: maka dia adalah najis maka tidak boleh baginya berwudlu dengannya, dan atasnya tayammum. Ketika seseorang tidak menemukan air yang selain itu, dan baginya mengharuskan untuk meminumnya maka dia boleh meminumnya, hal ini karena di dalam meminumnya tersebut ada darurat khawatir akan kematian.
وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي الْوُضُوءِ، فَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى التُّرَابَ طَهُورًا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ، وَهَذَا غَيْرُ وَاجِدٍ مَاءً يَكُونُ طَهُورًا،
Namun tidak demikian halnya di dalam wudlu. Maka sungguh Allah tabaraka wa ta’ala menjadikan tanah itu mensucikan bagi siapa saja yang tidak mendapati air, dan ini adalah (termasuk) selain orang yang menemukan air yang suci.
وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ فِي السَّفَرِ وَمَعَهُ مَاءَانِ اسْتَيْقَنَ أَنَّ أَحَدَهُمَا نَجِسٌ وَالْآخَرَ لَمْ يَنْجُسْ فَأَهْرَاقَ النَّجِسَ مِنْهُمَا عَلَى الْأَغْلَبِ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ تَوَضَّأَ بِالْآخَرِ، وَإِنْ خَافَ الْعَطَشَ حَبَسَ الَّذِي الْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ وَتَوَضَّأَ بِالطَّاهِرِ عِنْدَهُ،
Dan ketika seseorang berada dalam perjalanan dan bersamanya ada dua air yang yakin bahwa salah satunya najis dan yang lainnya tidak najis, maka dia menumpahkan yang najis dari keduanya sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis (menurut dia itu adalah air yang najis), maka berwudlu dengan yang terakhir (dengan yang tidak najis). Dan apabila takut kehausan, mencegah yang sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis (maksudnya yang diyakini najis tidak dibuang untuk diminum dalam keadaan darurat), dan berwudlu dengan yang suci disisinya.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ قَدْ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ فِي شَيْءٍ فَكَيْفَ يَتَوَضَّأُ بِغَيْرِ يَقِينِ الطَّهَارَةِ؟ قِيلَ لَهُ: إنَّهُ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ فِي شَيْءٍ وَاسْتَيْقَنَ الطَّهَارَةَ فِي غَيْرِهِ فَلَا نُفْسِدُ عَلَيْهِ الطَّهَارَةَ إلَّا بِيَقِينِ أَنَّهَا نَجِسَةٌ وَاَلَّذِي تَأَخَّى فَكَانَ الْأَغْلَبُ عَلَيْهِ عِنْدَهُ أَنَّهُ غَيْرُ نَجِسٍ عَلَى أَصْلِ الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَمْكُنُ فِيهِ وَلَمْ يَسْتَيْقِنْ النَّجَاسَةَ،
Maka apabila berkata seseorang: sungguh telah yakin terdapat najis di dalam sesuatu (salah satunya) maka bagaimana mungkin dia berwudlu dengan yang selain yakin suci (maksudnya ia tidak yakin bahwa airnya tersebut suci)? Dikatakan kepadanya: sesungguhnya yakin terdapat najis di dalam sesuatu (salah satunya) dan yakin suci di dalam yang selainnya maka tidak merusak atasnya kesuciannya kecuali dengan keyakinan bahwasanya dia najis. Dan yang mencari maka adalah yang sebagian besar atasnya di sisinya (maksudnya menurut keyakinannya) bahwasanya dia selain najis atas asalnya suci. Hal ini karena kesucian mungkin di dalamnya dan tidaklah dia yakin bahwa itu adalah najis.
فَإِنْ قَالَ: فَقَدْ نَجَّسْتَ عَلَيْهِ الْآخَرَ بِغَيْرِ يَقِينِ نَجَاسَةٍ، قِيلَ: لَا، إنَّمَا نَجَّسْتُهُ عَلَيْهِ بِيَقِينِ أَنَّ أَحَدَهُمَا نَجِسٌ، وَأَنَّ الْأَغْلَبَ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ، فَلَمْ أَقُلْ فِي تَنْجِيسِهِ إلَّا بِيَقِينِ رَبِّ الْمَاءِ فِي نَجَاسَةِ أَحَدِهِمَا، وَالْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّ هَذَا النَّجِسَ مِنْهُمَا.
Maka apabila berkata: sungguh engkau telah menajiskan atasnya yang lain dengan tanpa yakin terdapat najis. Dikatakan kepadanya: tidak, sesungguhnya aku menajiskannya atasnya dengan yakin bahwasanya salah satunya najis dan bahwasanya sebagian besar disisinya dia adalah najis. Maka tidaklah aku mengatakan di dalam menajiskannya kecuali dengan yakin memiliki air di dalam najis salah satunya. Dan sebagian besar disisinya bahwasanya najis itu dari keduanya.
فَإِنْ اسْتَيْقَنَ بَعْدُ أَنَّ الَّذِي تَوَضَّأَ بِهِ النَّجِسُ وَاَلَّذِي تَرَكَ الطَّاهِرُ غَسَلَ كُلَّ مَا أَصَابَ ذَلِكَ الْمَاءُ النَّجِسُ مِنْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ، وَأَعَادَ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ، وَكَانَ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهَذَا الَّذِي كَانَ الْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ حَتَّى اسْتَيْقَنَ طَهَارَتَهُ.
Maka apabila yakin setelah bahwasanya yang dipakai untuk berwudlu adalah najis, dan yang meninggalkan kesuciannya, membasuh setiap apa – apa yang ditimpa oleh air yang najis tersebut dari pakaiannya dan badannya, maka dia harus mengulangi wudlu dan shalatnya. Dan adalah baginya berwudlu dengan ini yang sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis, hingga ia yakin akan kesuciannya.
وَلَوْ اشْتَبَهَ الْمَاءَانِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَدْرِ أَيَّهُمَا النَّجِسُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ فِيهِمَا أَغْلَبُ، قِيلَ لَهُ إنْ لَمْ تَجِدْ مَاءً غَيْرَهُمَا فَعَلَيْك أَنْ تَتَطَهَّرَ بِالْأَغْلَبِ وَلَيْسَ لَك أَنْ تَتَيَمَّمَ،
Dan apabila tidak jelas dua air atasnya maka tidak menemukan dalam keduanya najis dan tidak pula disisinya di dalam keduanya yang sebagian besar (yang menurut dugaan kuatnya adalah najis atau suci), dikatakan kepadanya jika tidak menemukan air selain keduanya maka bagimu berwudlu dengan yang sebagian besar (yang menurut dugaan kuatnya tidak najis) dan tidak wajib bagimu untuk bertayamum.
وَلَوْ كَانَ الَّذِي أَشْكَلَ عَلَيْهِ الْمَاءَانِ أَعْمَى لَا يَعْرِفُ مَا يَدُلُّهُ عَلَى الْأَغْلَبِ وَكَانَ مَعَهُ بَصِيرٌ يُصَدِّقُهُ وَسِعَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْأَغْلَبَ عِنْدَ الْبَصِيرِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ أَحَدٌ يُصَدِّقُهُ أَوْ كَانَ مَعَهُ بَصِيرٌ لَا يَدْرِي أَيَّ الْإِنَاءَيْنِ نَجِسٌ وَاخْتَلَطَ عَلَيْهِ أَيُّهُمَا نَجِسٌ تَأَخَّى الْأَغْلَبَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ دَلَالَةٌ عَلَى الْأَغْلَبِ مِنْ أَيِّهِمَا نَجِسٌ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ أَحَدٌ يُصَدِّقُهُ تَأَخَّى عَلَى أَكْثَرِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ فَيَتَوَضَّأُ، وَلَا يَتَيَمَّمُ وَمَعَهُ مَاءَانِ: أَحَدُهُمَا طَاهِرٌ، وَلَا يَتَيَمَّمُ مَعَ الْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يُطَهِّرُ نَجَاسَةً إنْ مَاسَّتْهُ مِنْ الْمَاءِ، وَلَا يَجِبُ التَّيَمُّمُ مَعَ الْمَاءِ الطَّاهِرِ.
Dan apabila dia bingung atasnya dua air, sedangkan dia buta tidak mengenali apa – apa yang menunjukkan kepadanya atas yang sebagian besar (yang diduga najis atau suci) dan adalah bersamanya seseorang yang bisa melihat yang dia percaya kepadanya dia dapat menggunakan sebagian besar (dugaan kuat) disisi seseorang yang melihat. Maka apabila tidak terdapat bersamanya seseorang yang dia percaya kepadanya atau bersamanya seseorang yang bisa melihat yang tidak menemukan dua wadah najis dan bercampur atas keduanya yang mana yang najis, maka mencari yang sebagian besar (yang diduga kuat). Dan apabila tidak terdapat baginya tanda – tanda atas yang sebagian besar (yang diduga kuat) dari yang mana yang najis dan tidak pula bersamanya seseorang yang dia percaya kepadanya, maka mencari atas yang paling banyak apa – apa yang ditentukan kepadanya, berwudlu dengannya dan tidak bertayamum. Dan bersamanya ada dua air: yang pertama suci, dan tidak bertayamum dengan berwudlu, hal ini karena tayamum tidak mensucikan najis (jika) tidak menyentuhnya dari air, dan tidak wajib tayamum bersama dengan air yang suci.
وَلَوْ تَوَضَّأَ بِمَاءٍ ثُمَّ ظَنَّ أَنَّهُ نَجِسٌ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ وُضُوءًا حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ نَجِسٌ، وَالِاخْتِيَارُ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ، فَإِنْ اسْتَيْقَنَ بَعْدَ الْوُضُوءِ أَنَّهُ نَجِسٌ غَسَلَ كُلَّ مَا أَصَابَ الْمَاءُ مِنْهُ وَاسْتَأْنَفَ وُضُوءًا وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ الْمَاءَ النَّجِسَ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَلَى وُضُوءٍ فَمَاسَّ مَاءً نَجِسًا أَوْ مَاسَّ رَطْبًا مِنْ الْأَنْجَاسِ ثُمَّ صَلَّى غَسَلَ مَا مَاسَّ مِنْ النَّجَسِ وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ النَّجَسَ.
Dan apabila berwudlu dengan air kemudian menduga bahwasanya air tersebut adalah najis, maka tidak baginya mengulangi wudlunya hingga yakin bahwasanya dia adalah najis. Dan pilihan baginya untuk melakukannya ataukah tidak (mengulangi wudlunya ataukah tidak). Maka apabila dia yakin setelah wudlu bahwasanya air tersebut adalah najis, maka dia harus membasuh setiap yang tertimpa air darinya dan kembali berwudlu dan mengulangi setiap shalat yang dilakukannya setelah menyentuh air yang najis tersebut. Dan demikian itu apabila atasnya wudlu maka kemudian menyentuh air yang najis atau menyentuh bagian yang basah dari najis kemudian dia shalat, maka dia harus membasuh apa – apa yang menyentuhnya dari najis dan mengulangi setiap shalat yang telah dilakukan setelah menyentuh najis tersebut.
وَإِنْ مَاسَّ النَّجَسَ وَهُوَ مُسَافِرٌ وَلَمْ يَجِدْ مَاءً تَيَمَّمَ وَصَلَّى وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ النَّجَسَ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يُطَهِّرُ النَّجَاسَةَ الْمُمَاسَّةَ لِلْأَبْدَانِ.
Dan apabila dia menyentuh najis dan dia adalah seorang musafir dan tidak menemukan air, maka dia bertayamum dan kemudian shalat. Dan dia harus mengulangi setiap shalat yang telah dilakukan setelah menyentuh najis. Hal ini karena tayamum tidak mensucikan najis yang telah disentuh dengan badan.
(قَالَ) : فَإِذَا وَجَدَ الرَّجُلُ الْمَاءَ الْقَلِيلَ عَلَى الْأَرْضِ أَوْ فِي بِئْرٍ أَوْ فِي وَقْرِ حَجَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَوَجَدَهُ شَدِيدَ التَّغَيُّرِ لَا يَدْرِي أَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ مِنْ بَوْلِ دَوَابَّ أَوْ غَيْرِهِ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ قَدْ يَتَغَيَّرُ بِلَا حَرَامٍ خَالَطَهُ فَإِذَا أَمْكَنَ هَذَا فِيهِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ بِنَجَاسَةٍ خَالَطَتْهُ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka ketika seorang laki – laki menemukan air yang sedikit di atas bumi atau di dalam sumur atau di dalam lubang batu atau yang selainnya, maka dia menemukannya sudah sangat berubah, sedangkan ia tidak menemukan sesuatu yang najis bercampur dengannya dari kencing binatang atau yang selainnya maka dia boleh berwudlu dengannya, hal ini karena air tersebut berubah dengan sesuatu yang tidak haram yang bercampur dengannya. Maka ketika mungkin hal ini terdapat di dalamnya maka dia bisa digunakan untuk berwudlu hingga yakin najis telah bercampur dengannya.
(قَالَ) : وَلَوْ رَأَى مَاءً أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَاسْتَيْقَنَ أَنَّ ظَبْيًا بَالَ فِيهِ فَوَجَدَ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ مُتَغَيِّرًا أَوْ رِيحَهُ مُتَغَيِّرًا كَانَ نَجِسًا وَإِنْ ظَنَّ أَنَّ تَغَيُّرَهُ مِنْ غَيْرِ الْبَوْلِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ اسْتَيْقَنَ بِنَجَاسَةٍ خَالَطَتْهُ وَوَجَدَ التَّغَيُّرَ قَائِمًا فِيهِ، وَالتَّغَيُّرُ بِالْبَوْلِ وَغَيْرِهِ يَخْتَلِفُ
Imam asy-Syafi’i berkata: dan apabila dia melihat air yang lebih banyak dari lima geriba, maka dia yakin bahwasanya seekor rusa kencing di dalamnya maka dia menemukan rasanya atau warnanya berubah atau baunya juga berubah maka itu adalah najis, meskipun dia menduga bahwasanya berubahnya air tersebut dari selain air kencing. Hal ini karena sungguh dia telah yakin dengan najis yang bercampur dengannya dan dia mendapati perubahan tersebut terdapat padanya. Dan perubahan karena air kencing dan yang selainnya berbeda – beda.
Kitab Thaharah
[كِتَاب الطَّهَارَة]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
كِتَابُ الطَّهَارَةِ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ " أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - " قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ} [المائدة: 6] الْآيَةَ
Kitab Thaharah
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata “Telah mengabarkan kepada kami As-Syafi’i – rahimahullahu ta’ala – dia berkata “Allah Azza wa Jalla berfirman:
{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ} [المائدة: 6]
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu.... " [Qs. Al Maa’idah (5): 6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكَانَ بَيِّنًا عِنْدَ مَنْ خُوطِبَ بِالْآيَةِ أَنَّ غَسْلَهُمْ إنَّمَا كَانَ بِالْمَاءِ ثُمَّ أَبَانَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّ الْغُسْلَ بِالْمَاءِ وَكَانَ مَعْقُولًا عِنْدَ مَنْ خُوطِبَ بِالْآيَةِ أَنَّ الْمَاءَ مَا خَلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مِمَّا لَا صَنْعَةَ فِيهِ لِلْآدَمِيِّينَ وَذِكْرُ الْمَاءِ عَامًّا فَكَانَ مَاءُ السَّمَاءِ وَمَاءُ الْأَنْهَارِ وَالْآبَارِ وَالْقُلَّاتِ وَالْبِحَارِ الْعَذْبُ مِنْ جَمِيعِهِ وَالْأُجَاجُ سَوَاءً فِي أَنَّهُ يُطَهِّرُ مَنْ تَوَضَّأَ وَاغْتَسَلَ مِنْهُ، وَظَاهِرُ الْقُرْآنِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَاءٍ طَاهِرٌ مَاءُ بَحْرٍ وَغَيْرِهِ
Asy-Syafi’i berkata: maka ini adalah penjelas bagi orang - orang yang disebutkan dalam ayat tersebut bahwa membasuhnya adalah dengan air, kemudian tercantum dalam ayat ini bahwa basuhan itu dengan air dan ini masuk akal bagi orang – orang yang disebutkan dalam ayat tersebut bahwa air itu adalah ciptaan Allah tabaaraka wa ta’ala sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakannya. Dan Dia menyebutkan air secara umum, maka di dalamnya termasuk juga air dari langit (hujan), air sungai, air sumur, air yang keluar dari celah-celah bukit, air laut, baik yang asin maupun yang tawar. Semua jenis air itu dapat dipergunakan untuk bersuci bagi yang hendak berwudlu atau mandi. Makna lahir dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua jenis air adalah suci, baik air laut maupun air yang lain.
وَقَدْ رُوِيَ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَدِيثٌ يُوَافِقُ ظَاهِرَ الْقُرْآنِ فِي إسْنَادِهِ مَنْ لَا أَعْرِفُهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ رَجُلٌ مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ خَبَّرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ «سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Dan sungguh telah diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hadits yang sependapat dengan dhahirnya Al-Qur’an, di dalam sanadnya terdapat orang yang aku tidak mengenalnya. Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Said bin Salamah, seorang laki – laki dari keluarga ibnu al-Azrak, bahwa al-Mughirah bin Abi Burdah dan dia dari bani Abdi ad-Dar mengabarkannya bahwa dia mendengar Abu Hurairah –radliyallahu ‘anhu- mengatakan: bertanya seseorang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dia berkata: "Wahai Rasulullah, kami pernah berlayar, sementara kami hanya memiliki sedikit persediaan air. Apabila kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan, maka apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?" Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- menjawab, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal. " (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ (1/50 nomor 12), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (1/7), HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/237, 361, 378, 393), Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/201 nomor 729, 2/126 nomor 2011), al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (5/205), Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/188~189 nomor 84), at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/100~101 nomor 69), an-Nasa’i dalam Sunan-nya (1/54 nomor 59, 1/192 nomor 331, 5/236 nomor 4361), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/136 nomor 386, 2/1081 nomor 3246), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/59 nomor 111), Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (4/49 nomor 1243), Daruquthni dalam Sunan-nya (1/36 nomor 13), Baihaqi dalam Sunan-nya (1/3), Imam Tirmidzi mengatakan “hadits ini hasan shahih”, al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifatu as-Sunan: “hadits shahih sebagaimana pernyataan al-Bukhari”, dan hadits ini juga dishahihkan oleh Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir)[1][1]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِي هِنْدٍ الْفِرَاسِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ الْبَحْرُ فَلَا طَهَّرَهُ اللَّهُ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكُلُّ الْمَاءِ طَهُورٌ مَا لَمْ تُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ وَلَا طَهُورَ إلَّا فِيهِ أَوْ فِي الصَّعِيدِ، وَسَوَاءٌ كُلُّ مَاءٍ مِنْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ أُذِيبَ وَمَاءٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ لَهُ طَهَارَةُ وَالنَّارُ لَا تُنَجِّسُ الْمَاءَ.
Asy-Safi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Abdul Aziz bin Umar dari Sa’id bin Tsauban dari Abu Hindin al-Firasi dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: "Barangsiapa tidak dapat disucikan dengan air laut, maka Allah tidak menyucikannya.” (HR. Daruquthni dalam Sunan-nya (1/35~36 nomor 11), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/4), Daruquthni mengatakan “sanadnya hasan”, Ibnu Mulaqqin berkata: “maka sesungguhnya di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Humaid ar-Razi dan Ibrahim bin al-Mukhtar, adapun Muhammad bin Humaid ar-Razi, al-Baihaqi berkata dalam Sunannya, bahwa ia “laisa bil qawwi” (tidak kuat), adapun Ibrahim bin al-Mukhtar, Ahmad bin Ali al-Abbar berkata: aku bertanya kepada Zanijan Aba Ghassan tentangnya, maka ia berkata: aku meninggalkannya, dan tidak akan ridla terhadapnya. Ibnu Ma’in berkata: laisa bi dzaaka (tidak kuat atau lemah).[1][2]
Asy-Safi’i berkata: Setiap air tetap suci selama belum dicampuri najis. Tidak ada yang menyucikan kecuali air atau tanah, sama saja bagi setiap air baik dari air embun, salju yang dicairkan, air yang dipanaskan atau tidak dipanaskan, karena air memiliki sifat untuk menyucikan dan api tidak dapat menajiskan air.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ الْمَاءُ فَيَغْتَسِلُ بِهِ وَيَتَوَضَّأُ بِهِ.
Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Zaid bin Aslam dari Ayahnya bahwa Umar bin al-Khattab –radliyallahu ‘anhu- memanaskan air baginya maka dia mandi dengannya dan wudlu dengannya. (HR. Daruquthni dalam Sunan-nya (1/37) dengan lafadz ” bahwa Umar bin al-Khattab –radliyallahu ‘anhu- memanaskan air dalam botol baginya maka dia mandi dengannya dan wudlu dengannya” Imam Daruquthni mengatakan bahwa sanadnya shahih, HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/6), dinilai dhai’f oleh Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir dengan menyebutkan hadits lain yang semisal tetapi memiliki sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf nya) [1][3]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَدَقَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ الِاغْتِسَالَ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ: إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ.
Asy-Syafi’i berkata: Saya tidak memakruhkan air yang dipanaskan dengan sinar matahari, kecuali dari sisi kesehatan. Asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Shadaqah bin Abdillah dari Abi az-Zubair dari Jabir bin Abdillah bahwa Umar memakruhkan bersuci dengan air yang dipanaskan dengan sinar matahari dan berkata: sesungguhnya hal itu mewariskan penyakit belang (kusta). (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/6) dan Ma’rifatus Sunan-nya (1/139), hadits dha’if menurut Ibnu Mulaqqin dalam Badr al-Munir)[1][4]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْمَاءُ عَلَى الطَّهَارَةِ وَلَا يُنَجَّسُ إلَّا بِنَجَسٍ خَالَطَهُ وَالشَّمْسُ وَالنَّارُ لَيْسَا بِنَجَسٍ إنَّمَا النَّجِسُ الْمُحَرَّمُ، فَأَمَّا مَا اعْتَصَرَهُ لْآدَمِيُّونَ مِنْ مَاءِ شَجَرِ أَوْ وَرْدٍ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا يَكُونُ طَهُورًا وَكَذَلِكَ مَاءُ أَجْسَادِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ لَا يَكُونُ طَهُورًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ هَذَا اسْمُ مَاءٍ إنَّمَا يُقَالُ لَهُ: مَاءٌ بِمَعْنَى مَاءِ وَرْدٍ وَمَاءِ شَجَرِ كَذَا وَمَاءِ مَفْصِلِ كَذَا وَجَسَدِ كَذَا وَكَذَلِكَ لَوْ نَحَرَ جَزُورًا وَأَخَذَ كِرْشَهَا فَاعْتَصَرَ مِنْهُ مَاءً لَمْ يَكُنْ طَهُورًا؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَاءِ إلَّا بِالْإِضَافَةِ إلَى شَيْءٍ غَيْرِهِ يُقَالُ مَاءُ كِرْشٍ وَمَاءُ مَفْصِلٍ كَمَا يُقَالُ مَاءُ وَرْدٍ وَمَاءُ شَجَرِ كَذَا وَكَذَا فَلَا يَجْزِي أَنْ يَتَوَضَّأَ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا.
Asy-Syafi’i berkata: air untuk bersuci tidak menjadi najis kecuali dengan adanya najis yang bercampur dengannya sedangkan matahari dan api bukanlah termasuk najis, karena sesungguhnya najis itu adalah benda - benda yang diharamkan. Maka adapun apa – apa yang merupakan hasil perasan manusia seperti air pohon atau bunga mawar atau yang selainnya. Maka air seperti ini tidaklah mensucikan dan yang seperti demikian itu adalah air dari tubuh makhluk yang bernyawa yang tidak mensucikan. Hal ini karena air tersebut tidak termasuk dalam salah satu nama air ini (secara umum). Sesungguhnya dikatakan bagi air tersebut sebagai air dengan makna air mawar dan air pohon, demikian pula dengan air (cairan) sendi dan air (cairan) dari tubuh. Dan seperti yang demikian itu, apabila menyembelih unta dan mengambil perut pertamanya maka kemudian memeras air (cairan) darinya, maka air (cairan) ini tidak dapat mensucikan. Karena air (cairan) tersebut tidak termasuk dalam nama air (secara umum) kecuali dengan disandarkan kepada sesuatu selainnya, sehingga dikatakan sebagai cairan perut dan cairan persendian sebagaimana dikatakan air mawar dan air pohon dan demikian pula maka tidak diperbolehkan untuk berwudlu dengan segala sesuatu dari ini.
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
[الْمَاءُ الَّذِي يَنْجُسُ وَاَلَّذِي لَا يَنْجُسُ]
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ -) : الْمَاءُ مَاءَانِ: مَاءٌ جَارٍ وَمَاءٌ رَاكِدٌ، فَأَمَّا الْمَاءُ الْجَارِي فَإِذَا وَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ مِنْ مَيْتَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ نَاحِيَةٌ يَقِفُ فِيهَا الْمَاءُ فَتِلْكَ النَّاحِيَةُ مِنْهُ خَاصَّةً مَاءٌ رَاكِدٌ يَنْجُسُ إنْ كَانَ مَوْضِعُهُ الَّذِي فِيهِ الْمَيْتَةُ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجُسَ،
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: air itu ada dua: yaitu air yang mengalir dan air yang menggenang. Adapun air yang mengalir, ketika di dalamnya terdapat sesuatu yang diharamkan dari bangkai atau darah atau yang lainnya, apabila di dalamnya terdapat sisi yang berhenti, maka sisi yang berhenti tersebut khususnya air yang menggenang maka ia menajiskan jika tempat genangan yang terdapat bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ (geriba adalah tempat air/susu dari kulit)[1][1].
وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يَنْجُسْ إلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ، فَإِنْ كَانَ جَارِيًا لَا يَقِفُ مِنْهُ شَيْءٌ فَإِذَا مَرَّتْ الْجِيفَةُ أَوْ مَا خَالَطَهُ فِي الْجَارِي تَوَضَّأَ بِمَا يَتْبَعُ مَوْضِعَ الْجِيفَةِ مِنْ الْمَاءِ؛
Dan apabila airnya lebih banyak dari lima ‘geriba’, maka air tersebut tidak menajiskan kecuali berubah baunya, atau warnanya, atau rasanya. Karena air yang mengalir itu tidak dapat berhenti atau menetap sesuatu di atasnya. Apabila ada bangkai yang lewat atau hanyut atau apa saja yang bercampur dalam air yang mengalir tersebut, maka berwudlunya dengan air yang mengikuti (mengalir sesudah) tempatnya bangkai tersebut.
لِأَنَّ مَا يَتْبَعُ مَوْضِعَهَا مِنْ الْمَاءِ غَيْرُ مَوْضِعِهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فِيهِ جِيفَةٌ فَتَوَضَّأَ رَجُلٌ مِمَّا حَوْلَ الْجِيفَةِ لَمْ يُجْزِهِ إذَا مَا كَانَ حَوْلَهَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ كَالْمَاءِ الرَّاكِدِ، وَيَتَوَضَّأُ بِمَا بَعْدَهُ؛
Hal ini karena air yang mengikuti tempat bangkai tersebut adalah tempat yang lain dari air tersebut. Karena air yang lain tersebut tidak bercampur dengan najis. Dan apabila air yang mengalir sedikit jumlahnya serta di dalamnya terdapat bangkai, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengan air di sekitar bangkai tersebut ketika disekitar bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ seperti air yang menggenang. Dan diperbolehkan berwudlu dengan air sesudah bangkai tersebut mengalir.
لِأَنَّ مَعْقُولًا فِي الْمَاءِ الْجَارِي أَنَّ كُلَّ مَا مَضَى مِنْهُ غَيْرُ مَا حَدَثَ، وَأَنَّهُ لَيْسَ وَاحِدًا يَخْتَلِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ فَإِذَا كَانَ الْمُحَرَّمُ فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ يَحْتَمِلُ النَّجَاسَةَ نَجُسَ، وَلَوْلَا مَا وَصَفْت، وَكَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فَخَالَطَتْ النَّجَاسَةُ مِنْهُ مَوْضِعًا, فَجَرَى نَجُسَ الْبَاقِي مِنْهُ إذَا كَانَا إذَا اجْتَمَعَا مَعًا يَحْمِلَانِ النَّجَاسَةَ،
Hal ini masuk akal karena di dalam air yang mengalir itu setiap air yang telah lewat adalah air yang bukan bercampur dengan kotoran. Dan bahwasanya dia tidaklah satu bagian yang mencampuri sebagiannya dengan sebagian yang lain. Maka apabila benda – benda yang diharamkan berada di dalam tempat tersebut, membawa najis tersebut, maka air yang membawanya menjadi najis. Tanpa apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan adalah air yang mengalir itu sangat sedikit, kemudian bercampur dengannya najis darinya di suatu tempat, maka mengalirlah najis yang diam tersebut darinya. Ketika dia berkumpul bersama - sama (dengan air), maka kedua – duanya membawa najis.
وَلَكِنَّهُ كَمَا وَصَفْت، كُلُّ شَيْءٍ جَاءَ مِنْهُ غَيْرُ مَا مَضَى، وَغَيْرُ مُخْتَلَطٍ بِمَا مَضَى، وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ فِي هَذَا مُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُخْتَلِطٌ كُلُّهُ فَيَقِفُ، فَيَصِيرُ مَا حَدَثَ فِيهِ مُخْتَلِطًا بِمَا كَانَ قَبْلَهُ، لَا يَنْفَصِلُ، فَيَجْرِي بَعْضُهُ قَبْلَ بَعْضٍ كَمَا يَنْفَصِلُ الْجَارِي.
Dan akan tetapi sebagaimana aku gambarkan, segala sesuatu yang datang darinya selain yang telah lewat (air yang membawa najis tersebut) dan selain yang bercampur dengan yang telah lewat, dan air itu tergenang di dalam bagian ini, maka air itu berbeda dengan air yang bercampur najis tadi. Karena sesungguhnya dia (najis dan air itu) bercampur seluruhnya, maka dia tertahan dan dia menjadi kotoran di dalamnya yang bercampur dengan apa – apa yang datang sebelumnya (bercampur dengan air yang mengalir), tidak terpisah. Maka mengalirlah sebagiannya sebelum sebagian yang lain sebagaimana terpisahnya air yang mengalir.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ رِيحَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ كَانَ نَجِسًا، وَإِنْ مَرَّتْ جَرْيَتُهُ بِشَيْءٍ مُتَغَيِّرٍ بِحَرَامٍ خَالَطَهُ فَتَغَيَّرَتْ ثُمَّ مَرَّتْ بِهِ جَرْيَةٌ أُخْرَى غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ فَالْجَرْيَةُ الَّتِي غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ طَاهِرَةٌ، وَالْمُتَغَيِّرَةُ نَجِسَةٌ
Imam Syafi'i berkata: Apabila air yang mengalir —baik kadarnya sedikit ataupun banyak— itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.
(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ فِي الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَرَكَدَ فِيهِ الْمَاءُ، وَكَانَ زَائِلًا عَنْ سَنَنِ جَرْيَتِهِ بِالْمَاءِ يَسْتَنْقِعُ فِيهِ، فَكَانَ يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ فَخَالَطَهُ حَرَامٌ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ رَاكِدٌ. وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ الْجَارِي يَدْخُلُهُ إذَا كَانَ يَدْخُلُهُ مِنْهُ مَا لَا يُكْثِرُهُ، حَتَّى يَصِيرَ كُلُّهُ خَمْسَ قِرَبٍ، وَلَا يَجْرِي بِهِ.
Apabila di dalam air yang mengalir terdapat tempat yang lebih rendah, maka air menjadi diam atau tergenang di dalamnya. Dan air tersebut tetap berhenti dari jalan mengalirnya air dengan air menggenang di dalamnya, maka apabila air tersebut membawa najis serta bercampur dengannya benda – benda yang diharamkan, maka air tersebut menjadi najis. Karena air tersebut adalah air yang tergenang (bukan air yang mengalir). Hal yang demikian itu apabila air yang mengalir memasukinya (memasuki air yang menggenang), ketika memasukinya tidaklah membuatnya menjadi banyak, hingga berubah seluruhnya menjadi lima geriba, dan (air yang menggenang tersebut) tidaklah mengalir dengannya.
وَإِنْ كَانَ فِي سَنَنِ الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَوَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ، وَكَانَ الْمَاءُ يَجْرِي بِهِ فَهُوَ جَارٍ كُلُّهُ، لَا يَنْجُسُ إلَّا بِمَا يَنْجُسُ بِهِ الْجَارِي. وَإِذَا صَارَ الْمَاءُ الْجَارِي إلَى مَوْضِعٍ يَرْكُدُ فِيهِ الْمَاءُ فَهُوَ مَاءٌ رَاكِدٌ يُنَجِّسُهُ مَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ الرَّاكِدَ.
Apabila di dalam jalan air yang mengalir tersebut terdapat tempat yang lebih rendah, yang terdapat di dalamnya benda – benda yang diharamkan, dan terdapat air yang mengalir kepadanya maka dia adalah air yang mengalir seluruhnya, tidak menajiskan kecuali dengan apa – apa yang menajiskan air yang mengalir. Ketika air yang mengalir telah menuju ke tempat air yang menggenang, dan air tersebut adalah air yang tergenang, maka menajiskannya apa – apa yang menajiskan air yang tergenang (atau air yang tidak mengalir).
Air yang Tergenang
[الْمَاءُ الرَّاكِدُ]
Air yang Tergenang
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ مَاءَانِ: مَاءٌ لَا يَنْجُسُ بِشَيْءٍ خَالَطَهُ مِنْ الْمُحَرَّمِ، إلَّا أَنْ يَكُونَ لَوْنُهُ فِيهِ أَوْ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ قَاتِمًا. وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ الْمُحَرَّمِ فِيهِ مَوْجُودًا بِأَحَدِ مَا وَصَفْنَا تَنَجَّسَ كُلُّهُ قَلَّ أَوْ كَثُرَ.
Ada dua macam air yang tergenang:
(Pertama) Air yang tidak najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali apabila warnanya, baunya, dan rasanya telah berubah. Apabila sesuatu yang haram terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan; baik warna, bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik sedikit maupun banyak.
(قَالَ) : وَسَوَاءٌ إذَا وُجِدَ الْمُحَرَّمُ فِي الْمَاءِ جَارِيًا كَانَ أَوْ رَاكِدًا
Imam Syafi’i berkata: sama saja ketika sesuatu yang haram tersebut terdapat pada air yang mengalir ataukah pada air yang tergenang.
(قَالَ) : وَمَاءٌ يَنْجُسُ بِكُلِّ شَيْءٍ خَالَطَهُ مِنْ الْمُحَرَّمِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَوْجُودًا فِيهِ. فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: مَا الْحُجَّةُ فِي فَرْقٍ بَيْنَ مَا يَنْجُسُ وَمَا لَا يَنْجُسُ، وَلَمْ يَتَغَيَّرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا؟ قِيلَ: السُّنَّةُ:
(Kedua) Air yang najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang haram itu tidak terdapat padanya. Apabila seseorang bertanya, "Apa alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis, padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya (sifat – sifatnya)?" Maka dikatakan (jawabnya), (hujjah dalam hal ini adalah) Sunnah (hadits):
أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ أَنْ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا أَوْ خَبَثَا»
Telah mengabarkan kepada kami ats-Tsiqah dari al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ketika air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis atau kotoran”. (HR. Asy-Syafi’i dalam musnadnya (1/21-22), HR. Ahmad dalam musnadnya (2/12,23,26-27,38,107), HR. Ad-Darimi dalam sunannya (1/202, nomor 731,732), HR. Abu Dawud dalam sunannya (1/178-179, nomor 64-66), HR. Tirmidzi dalam sunannya (1/97, nomor 67), HR. Nasa’i dalam sunannya (1/49-50 nomor 52, 1/191 nomor 327), HR. Ibnu Majah dalam sunannya (1/172 nomor 517, 518), HR. Daruquthni dalam sunannya (1/13-23 nomor 1 – 25), HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/49 nomor 92), HR. Ibnu Hiban dalam shahihnya (4/57 nomor 1249, 4/63 nomor 1253), HR. Hakim dalam mustadraknya (1/132), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/260-262), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir-nya berkata hadits ini hadits shahih).[1][1]
أَخْبَرَنَا مُسْلِمٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ بِإِسْنَادٍ لَا يَحْضُرُنِي ذِكْرُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا» ، وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ: بِقِلَالِ هَجَرَ، قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَرَأَيْت قِلَالَ هَجَرَ فَالْقُلَّةُ تَسَعُ قِرْبَتَيْنِ أَوْ قِرْبَتَيْنِ وَشَيْئًا.
Telah mengabarkan kepada kami Muslim, dari ibnu Juraij dengan sanad yang tidak aku ingat, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “apabila air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis”, dan dia berkata dalam hadits ini: dengan tempayan/buyung besar Hajara. Ibnu Juraij berkata: dan aku pernah melihat ‘tempayan/buyung besar Hajara’ maka satu qullah sepersembilan dari dua qirbah atau dua qirbah dan yang sepadan. (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/263), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan: Muslim bin Khalid, dan ketika dia dibicarakan di dalamnya (hadits tersebut), maka sungguh telah tsiqah kepadanya: Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dan keduanya mengeluarkan hadits darinya dalam shahih keduanya.)[1][2]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : كَانَ مُسْلِمٌ يَذْهَبُ إلَى أَنَّ ذَلِكَ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ الْقِرْبَةِ أَوْ نِصْفِ الْقِرْبَةِ فَيَقُولُ: خَمْسُ قِرَبٍ هُوَ أَكْثَرُ مَا يَسَعُ قُلَّتَيْنِ، وَقَدْ تَكُونُ الْقُلَّتَانِ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ، وَفِي قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا» دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ مِنْ الْمَاءِ يَحْمِلُ النَّجَسَ
Imam asy-Syafi’i berkata: Muslim berpendapat bahwasanya (dua kullah itu) kurang dari setengah geriba[1][3] atau setengah geriba, maka dia (Imam Syafi’i) berkata: lima geriba adalah lebih banyak daripada dua kullah. Sesungguhnya dua kullah itu kurang dari lima geriba. Dan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “ketika air itu dua kullah, maka dia tidak membawa najis” memiliki penunjukkan bahwa air yang tidak (atau kurang dari) dua kullah membawa najis.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ تَكُونَ الْقُلَّةُ قِرْبَتَيْنِ وَنِصْفًا، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ خَمْسَ قِرَبٍ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا فِي جَرَيَانٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَقِرَبُ الْحِجَازِ كِبَارٌ، فَلَا يَكُونُ الْمَاءُ الَّذِي لَا يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ إلَّا بِقِرَبٍ كِبَارٍ. وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَخَالَطَتْهُ مَيْتَةٌ نَجُسَ،
Imam asy-Syafi’i berkata: maka adalah suatu kehati – hatian bahwa satu kullah adalah dua geriba dan setengahnya. Maka ketika air itu mencapai lima geriba, maka dia tidak membawa najis pada air yang mengalir atau yang selainnya. Sedangkan ukuran geriba hijaz besar - besar, maka tidaklah air itu yang tidak membawa najis kecuali dengan geriba yang besar - besar. Dan apabila air tersebut kurang dari lima geriba, kemudian bercampur bangkai (di dalamnya), maka air tersebut najis.
وَنَجُسَ كُلُّ وِعَاءٍ كَانَ فِيهِ، فَأُهْرِيقَ، وَلَمْ يَطْهُرْ الْوِعَاءُ إلَّا بِأَنْ يُغْسَلَ، وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ لَيْسَتْ بِقَائِمَةٍ فِيهِ نَجَّسَتْهُ، فَإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ مَاءٌ حَتَّى يَصِيرَ هُوَ بِاَلَّذِي صُبَّ عَلَيْهِ خَمْسَ قِرَبٍ فَأَكْثَرَ طَهُرَ، وَكَذَلِكَ لَوْ صَبَّ هُوَ عَلَى الْمَاءِ أَقَلَّ وَأَكْثَرَ مِنْهُ حَتَّى يَصِيرَ الْمَاءَانِ مَعًا أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يُنَجِّسْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ، وَإِذَا صَارَا خَمْسَ قِرَبٍ فَطَهُرَا، ثُمَّ فُرِّقَا، لَمْ يَنْجُسَا بَعْدَ مَا طَهُرَا إلَّا بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِمَا.
Maka najis setiap wadah yang di dalamnya terdapat najis, maka dituangkan (dibuang isi wadah yang najis tersebut), dan wadah tersebut tidaklah menjadi suci kecuali dengan dicuci. Dan apabila air yang kurang dari lima geriba bercampur dengan najis, berubah keadaannya, maka menajiskannya. Apabila dituangkan kepadanya air hingga menjadi lima geriba, maka air tersebut menjadi banyak dan suci. Demikian juga apabila dituangkan atas air yang kurang dan lebih banyak darinya hingga menjadi dua air yang bersama – sama lebih banyak dari lima geriba, maka air tersebut tidak menajiskan salah satu dari keduanya. Dan apabila menjadi lima geriba maka ia adalah air suci, kemudian dipisah-pisahkan (air yang sebelumnya disatukan), tidaklah menajiskan setelah suci (air yang dipisahkan tersebut) kecuali dengan najis yang mengotori di dalamnya (di dalamnya terdapat najis).
وَإِذَا وَقَعَتْ الْمَيْتَةُ فِي بِئْرٍ أَوْ غَيْرِهَا فَأُخْرِجَتْ فِي دَلْوٍ أَوْ غَيْرِهِ طُرِحَتْ، وَأُرِيقَ الْمَاءُ الَّذِي مَعَهَا؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ مُنْفَرِدًا مِنْ مَاءِ غَيْرِهِ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ غُسِلَ الدَّلْوُ فَإِنْ لَمْ يُغْسَلْ وَرُدَّ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ، طَهَّرَهُ الْمَاءُ الْكَثِيرُ، وَلَمْ يُنَجِّسْ هُوَ الْمَاءَ الْكَثِيرَ. (قَالَ) : وَالْمُحَرَّمُ كُلُّهُ سَوَاءٌ، إذَا وَقَعَ فِي أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجَّسَهُ.
Dan ketika terdapat bangkai di dalam sumur atau yang lainnya kemudian dikeluarkan (diambil dari sumur) ke dalam ember atau yang selainnya, dan jernih air yang ada bersamanya. Apabila air tersebut kurang dari lima geriba tanpa adanya air yang lain, maka aku lebih menyukai untuk mencuci ember tersebut, tidaklah dicuci di dalam air yang banyak. Mensucikannya air yang banyak, dan tidak menajiskannya air yang banyak. Dan sama saja segala sesuatu yang diharamkan, ketika terdapat di dalam air yang kurang dari lima geriba, maka menajiskannya.
وَلَوْ وَقَعَ حُوتٌ مَيِّتٌ، فِي مَاءٍ قَلِيلٍ، أَوْ جَرَادَةٌ مَيِّتَةٌ لَمْ يَنْجُسْ؛ لِأَنَّهُمَا حَلَالٌ مَيِّتَتَيْنِ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا كَانَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مِمَّا يَعِيشُ فِي الْمَاءِ،
Dan apabila terdapat bangkai ikan paus di dalam air yang sedikit, atau bangkai belalang, maka tidak najis air tersebut. Hal ini karena keduanya adalah bangkai yang halal. Dan demikian pula setiap makhluk hidup yang hidup di dalam air.
وَمِمَّا لَا يَعِيشُ فِي الْمَاءِ مِنْ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ إذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ الَّذِي يَنْجُسُ مَيِّتًا نَجَّسَهُ، إذَا كَانَ مِمَّا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ. فَأَمَّا مَا كَانَ مِمَّا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، مِثْلُ الذُّبَابِ، وَالْخَنَافِسِ وَمَا أَشْبَهَهُمَا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Dan adapun makhluk hidup yang tidak hidup di dalam air ketika terdapat dalam air yang bangkai itu menajiskannya maka air tersebut menajiskan, ketika bangkai tersebut mengeluarkan cairannya. Maka adapun bangkai yang tidak mengeluarkan cairan seperti lalat, kumbang, dan yang sejenisnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا مَاتَ مِنْ هَذَا فِي مَاءٍ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ، وَمَنْ قَالَ هَذَا قَالَ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: هَذِهِ مَيْتَةٌ، فَكَيْفَ زَعَمْت أَنَّهَا لَا تَنْجُسُ؟ قِيلَ: لَا تُغَيِّرُ الْمَاءَ بِحَالٍ، وَلَا نَفْسَ لَهَا فَإِنْ قَالَ: فَهَلْ مِنْ دَلَالَةٍ عَلَى مَا وَصَفْت؟ قِيلَ: نَعَمْ
Yang pertama bahwasanya apa – apa yang mati dari ini (lalat, kumbang, dsb) di dalam air yang sedikit atau banyak tidak menajiskannya. Dan apabila ada seseorang yang berkata tentang ini, apabila seseorang berkata: ini adalah bangkai, maka bagaimana mungkin engkau menyatakan bahwasanya dia tidaklah menajiskan? Dikatakan: tidak berubah air tersebut. Dan hewan tersebut tidaklah memiliki darah (yang mengalir). Maka jika berkata: apakah penunjukkan atas apa – apa yang telah engkau gambarkan? Dikatakan: ya.
«إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَمَرَ بِالذُّبَابِ يَقَعُ فِي الْمَاءِ أَنْ يُغْمَسَ فِيهِ» ، وَكَذَلِكَ أَمَرَ بِهِ فِي الطَّعَامِ وَقَدْ يَمُوتُ بِالْغَمْسِ، وَهُوَ لَا يَأْمُرُ بِغَمْسِهِ فِي الْمَاءِ وَالطَّعَامِ وَهُوَ يُنَجِّسُهُ لَوْ مَاتَ فِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَمْدُ إفْسَادِهِمَا،
Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wassalam – memerintahkan ketika terdapat lalat di dalam air agar menenggelamkannya di dalamnya (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (6/414 nomor 3320 dan 5782), HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (34/314 nomor 3840), HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/56 nomor 105), HR. Ibnu Hibban (4/53 nomor 1246, 12/55 nomor 5250), HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (2/1159 nomor 3505), HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya (2/134-135 nomor 230). Perintah yang demikian itu di dalam makanan, dan sungguh lalat tersebut mati dengan menenggelamkannya. Dan tidaklah memerintahkan untuk menenggelamkannya di dalam air dan makanan apabila lalat tersebut menajiskannya sedangkan lalat tersebut mati di dalamnya. Karena sesungguhnya hal itu sengaja merusak keduanya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ إذَا مَاتَ فِيمَا يَنْجُسُ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ مُحَرَّمٌ، وَقَدْ يَأْمُرُ بِغَمْسِهِ لِلدَّاءِ الَّذِي فِيهِ، وَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَمُوتُ،
Pendapat yang kedua: bahwasanya bangkai tersebut (lalat, kumbang, dst) ketika mati di dalam apa – apa yang menajiskan maka ia adalah najis. Karena sesungguhnya ia adalah sesuatu yang diharamkan, dan sungguh diperintahkan untuk menenggelamkannya karena penyakit yang ada di dalamnya. Dan sebagian besar ia tidaklah mati.
أَحَبُّ إلَيَّ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ حَرَامًا أَنْ يُؤْكَلَ، فَوَقَعَ فِي مَاءٍ، فَلَمْ يَمُتْ حَتَّى أُخْرِجَ مِنْهُ لَمْ يُنَجِّسْهُ، وَإِنْ مَاتَ فِيهِ نَجَّسَهُ، وَذَلِكَ مِثْلُ الْخُنْفُسَاءِ وَالْجُعَلِ وَالذُّبَابِ وَالْبُرْغُوثِ، وَالْقَمْلَةِ وَمَا كَانَ فِي هَذَا الْمَعْنَى.
Pendapat yang paling kusukai adalah bahwasanya setiap yang haram untuk dimakan yang terdapat di dalam air, maka tidaklah mati hingga dikeluarkan darinya dan ini tidak menajiskannya (air tersebut), dan jika ia mati di dalamnya, maka ia menajiskannya. Yang demikian itu seperti kumbang, lalat, kutu, dan yang semisal dengan ini.
(قَالَ) : وَذُرَقُ الطَّيْرِ كُلِّهِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ وَمَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ إذَا خَالَطَ الْمَاءَ نَجَّسَهُ؛ لِأَنَّهُ يَرْطُبُ بِرُطُوبَةِ الْمَاءِ.
Kotoran burung semuanya, baik itu yang dimakan dagingnya atau yang tidak dimakan dagingnya, ketika bercampur dengan air maka kotoran tersebut menajiskannya. Hal ini karena kotoran tersebut basah dengan basahnya air.
(قَالَ الرَّبِيعُ) وَعَرَقُ النَّصْرَانِيَّةِ وَالْجُنُبِ، وَالْحَائِضِ طَاهِرٌ، وَكَذَلِكَ الْمَجُوسِيِّ وَعَرَقُ كُلِّ دَابَّةٍ طَاهِرٌ وَسُؤْرُ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ كُلِّهَا طَاهِرٌ إلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ.
(قَالَ الرَّبِيعُ) وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ. وَإِذَا وَضَعَ الْمَرْءُ مَاءً فَاسْتَنَّ بِسِوَاكٍ وَغَمَسَ السِّوَاكَ فِي الْمَاءِ ثُمَّ أَخْرَجَهُ، تَوَضَّأَ بِذَلِكَ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ مَا فِي السِّوَاكِ رِيقُهُ، وَهُوَ لَوْ بَصَقَ أَوْ تَنَخَّمَ أَوْ امْتَخَطَ فِي مَاءٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ. وَالدَّابَّةُ نَفْسُهَا تَشْرَبُ فِي الْمَاءِ، وَقَدْ يَخْتَلِطُ بِهِ لُعَابُهَا فَلَا يُنَجِّسُهُ، إلَّا أَنْ يَكُونَ كَلْبًا أَوْ خِنْزِيرًا.
Ar-Rabi’ berkata: dan keringat orang nashrani, orang yang junub, dan orang yang haid adalah suci. Demikian pula dengan keringat orang majusi, setiap hewan yang melata, air liur hewan, dan hewan liar semuanya suci kecuali anjing dan babi.
Ar-Rabi’ berkata: dan ini adalah perkataan imam asy-Syafi’i. Ketika seseorang memasukan air maka dia membersihkan giginya dengan bersiwak dan menenggelamkan siwaknya itu di dalam air kemudian mengeluarkannya. Dibolehkan berwudlu dengan air yang seperti ini (sisa rendaman siwak). Karena yang banyak terdapat dalam siwak itu adalah air liurnya. Dan apabila dia meludah di dalam air tidak menajiskan air tersebut. Dan hewan yang melata minum di dalam air, dan bercampur di dalamnya air liurnya maka air liur tersebut tidak menajiskannya. Kecuali yang minum dalam air tersebut adalah anjing atau babi.
(قَالَ) : وَكَذَلِكَ لَوْ عَرِقَ فَقَطَرَ عَرَقُهُ فِي الْمَاءِ لَمْ يَنْجُسْ؛ لِأَنَّ عَرَقَ الْإِنْسَانِ وَالدَّابَّةِ لَيْسَ بِنَجَسٍ وَسَوَاءٌ مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَ الْعَرَقُ مِنْ تَحْتِ مَنْكِبِهِ أَوْ غَيْرِهِ.
Demikian itu, apabila seseorang berkeringat, kemudian menetes keringatnya tersebut di dalam air, maka (tetesan keringat tersebut) tidak menajiskan. Karena keringat manusia dan hewan melata tidak najis, dan sama saja dari tempat yang mana saja keringat itu keluar, dari bawah ketiaknya atau yang lainnya.
وَإِذَا كَانَ الْحَرَامُ مَوْجُودًا فِي الْمَاءِ وَإِنْ كَثُرَ الْمَاءُ لَمْ يَطْهُرْ أَبَدًا بِشَيْءٍ يُنْزَحُ مِنْهُ، وَإِنْ كَثُرَ حَتَّى يَصِيرَ الْحَرَامُ مِنْهُ عَدَمًا لَا يُوجَدُ مِنْهُ فِيهِ شَيْءٌ قَائِمٌ، فَإِذَا صَارَ الْحَرَامُ فِيهِ عَدَمًا طَهُرَ الْمَاءُ، وَذَلِكَ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ أَوْ يَكُونَ مَعِينًا فَتَنْبُعُ الْعَيْنُ فِيهِ فَيَكْثُرُ، وَلَا يُوجَدُ الْمُحَرَّمُ فِيهِ فَإِذَا كَانَ هَكَذَا طَهُرَ وَإِنْ لَمْ يُنْزَحْ مِنْهُ شَيْءٌ.
Dan ketika sesuatu yang haram terdapat dalam air sumur, jika airnya banyak, tidak akan suci selama – lamanya dengan sesuatu ketika airnya habis. Jika airnya banyak hingga menjadi hilang sesuatu yang haram tersebut darinya tidak terdapat lagi di dalamnya, maka ketika sesuatu yang haram itu hilang airnya menjadi suci. Yang demikian itu bahwasanya menuangkan kepadanya air yang selainnya atau terdapat padanya air yang mengalir, maka memancar darinya mata air di dalamnya hingga menjadi banyak airnya. Dan tidaklah terdapat sesuatu yang haram di dalamnya ketika terjadi hal yang demikian dan suci airnya dan ketika tidak akan habis darinya air tersebut.
(قَالَ) : وَإِذَا نَجُسَ الْإِنَاءُ فِيهِ الْمَاءُ الْقَلِيلُ أَوْ الْأَرْضُ، أَوْ الْبِئْرُ ذَاتُ الْبِنَاءِ، فِيهَا الْمَاءُ الْكَثِيرُ بِحَرَامٍ يُخَالِطُهُ فَكَانَ مَوْجُودًا فِيهِ ثُمَّ صَبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ حَتَّى يَصِيرَ الْحَرَامُ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِيهِ. وَكَانَ الْمَاءُ قَلِيلًا فَنَجُسَ، فَصَبَّ عَلَيْهِ مَاءً غَيْرَهُ حَتَّى صَارَ مَاءً لَا يَنْجُسُ مِثْلُهُ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حَرَامٌ- فَالْمَاءُ طَاهِرٌ، وَالْإِنَاءُ، وَالْأَرْضُ الَّتِي الْمَاءُ فِيهِمَا طَاهِرَانِ؛ لِأَنَّهُمَا إنَّمَا نَجُسَا بِنَجَاسَةِ الْمَاءِ، فَإِذَا صَارَ حُكْمُ الْمَاءِ إلَى أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا كَانَ كَذَلِكَ حُكْمُ مَا مَسَّهُ الْمَاءُ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحَوَّلَ حُكْمُ الْمَاءِ، وَلَا يُحَوَّلُ حُكْمُهُ، وَإِنَّمَا هُوَ تَبَعٌ لِلْمَاءِ يَطْهُرُ بِطَهَارَتِهِ، وَيَنْجُسُ بِنَجَاسَتِهِ.
Dan ketika wadah menjadi najis di dalamnya terdapat air yang sedikit, wadah tersebut dari tanah, atau sumur yang ditembok, di dalamnya terdapat air yang banyak yang terdapat dan bercampur dengan sesuatu yang diharamkan, kemudian dituangkan kepadanya air yang lain hingga sesuatu yang haram tersebut menjadi tidak tampak lagi di dalamnya. Dan air yang sedikit airnya maka ia menajiskan. Maka dituangkan air yang lain kepadanya hingga menjadi air yang tidak menajiskan yang semisal dengannya. Dan tidaklah di dalamnya terdapat sesuatu yang haram, maka air tersebut menjadi suci, dan wadah tersebut, dan tanah yang terdapat di dalamnya air kedua – duanya menjadi suci. Karena sesungguhnya keduanya najis karena najisnya air. Maka ketika hukum airnya menjadi suci, maka demikian pula dengan hukumnya sesuatu yang menyentuhnya. Dan tidaklah boleh mengubah hukum air dan tidak boleh mengubah hukumnya (wadah atau bejana tersebut), karena sesungguhnya ia mengikuti hukumnya air, wadah tersebut suci dengan sucinya air, dan najis dengan najisnya air.
وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ قَلِيلًا فِي إنَاءٍ فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ أُرِيقَ وَغُسِلَ الْإِنَاءُ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ غُسِلَ ثَلَاثًا، فَإِنْ غُسِلَ وَاحِدَةً تَأْتِي عَلَيْهِ طَهُرَ، وَهَذَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَالَطَهُ إلَّا أَنْ يَشْرَبَ فِيهِ كَلْبٌ أَوْ خِنْزِيرٌ فَلَا يَطْهُرُ إلَّا بِأَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَإِذَا غَسَلَهُنَّ سَبْعًا جَعَلَ أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ تُرَابًا لَا يَطْهُرُ إلَّا بِذَلِكَ، فَإِنْ كَانَ فِي بَحْرٍ لَا يَجِدُ فِيهِ تُرَابًا فَغَسَلَهُ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ تُرَابٍ فِي التَّنْظِيفِ مِنْ أُشْنَانٍ أَوْ نُخَالَةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا لَا يَطْهُرُ إلَّا بِأَنْ يُمَاسَّهُ التُّرَابَ وَالْآخَرُ يَطْهُرُ بِمَا يَكُونُ خَلَفًا مِنْ التُّرَابِ وَأَنْظَفَ مِنْهُ مِمَّا وَصَفْت كَمَا تَقُولُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ.
Dan ketika air tersebut sedikit di dalam wadah, maka kemudian bercampur dengannya najis, maka menjadikannya jernih dan mencuci wadah tersebut. Dan aku menyukai bila mencuci wadah tersebut tiga kali. Maka ketika mencuci wadah tersebut satu kali wadah tersebut sudah suci. Dan ini berlaku untuk semua najis yang mengenai wadah tersebut kecuali ketika anjing atau babi meminum air di dalam wadah tersebut. Maka wadah tersebut tidaklah suci kecuali dengan mencucinya sebanyak tujuh kali. Ketika mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, dijadikan yang pertama kalinya atau yang terakhir kalinya dengan tanah, tidak mungkin suci kecuali dengan cara seperti ini. Maka ketika berada di laut dan tidak menjumpai tanah, maka mencucinya dengan apa – apa yang bisa menggantikan tanah dalam mensucikan najis dari abu gosok, dedak, atau yang menyerupainya, maka di dalamnya terdapat dua pendapat:
Yang pertama: tidak suci kecuali dengan membasuhnya dengan tanah.
Yang kedua: mensucikan dengan apa – apa yang menjadi pengganti dari tanah dan lebih membersihkan najis tersebut darinya sebagaimana yang telah aku gambarkan, sebagaimana yang aku katakan dalam ‘istinja’ (bercebok dengan batu).
وَإِذَا نَجَّسَ الْكَلْبُ أَوْ الْخِنْزِيرُ بِشُرْبِهِمَا نَجَّسَا مَا مَاسَّا بِهِ الْمَاءَ مِنْ أَبْدَانِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمَا نَجَاسَةٌ،
Dan ketika anjing atau babi menajiskan wadah dengan minum darinya, najis air yang bersentuhan dengannya dan ketika najis tidak ada lagi atas keduanya (sudah dituang air sisa minumnya).
وَكُلُّ مَا لَمْ يَنْجُسْ بِشُرْبِهِ فَإِذَا أَدْخَلَ فِي الْمَاءِ يَدًا أَوْ رِجْلًا أَوْ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ لَمْ يُنَجِّسْهُ إلَّا بِأَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ قَذَرٌ فَيُنَجِّسُ الْقَذَرُ الْمَاءَ لَا جَسَدُهُ
Dan setiap yang tidak menajiskan dengan minumnya, maka ketika masuk di dalam air tersebut tangan, atau seseorang, atau sesuatu dari badannya, tidak menajiskannya kecuali ketika padanya terdapat kotoran (tahi) maka tahi tersebut menajiskan air bukan jasadnya yang menajiskan.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ جَعَلْت الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ إذَا شَرِبَا فِي إنَاءٍ لَمْ يُطَهِّرْهُ إلَّا سَبْعُ مَرَّاتٍ وَجَعَلْت الْمَيْتَةَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ أَوْ الدَّمَ طَهَّرَتْهُ مَرَّةٌ إذَا لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَثَرٌ فِي الْإِنَاءِ؟ قِيلَ لَهُ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ketika berkata seseorang, maka bagaimana engkau menganggap anjing dan babi ketika minum di dalam wadah tidak dapat mensucikannya (wadah tersebut) kecuali dengan tujuh kali (mencuci) dan engkau menjadikan bangkai ketika terdapat di dalam wadah tersebut atau darah, cukup dicuci sekali saja ketika tidak terdapat padanya satu dari semuanya itu bekas di dalam wadah tersebut? Dikatakan kepadanya, aku mengikuti Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu ’Uyaynah dari Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”ketika anjing menjilat di dalam wadah seseorang diantara kalian, maka cucilah wadah tersebut tujuh kali” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/234, nomor 279)[1][4]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah berkata: ”Rasullullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ketika anjing minum di dalam wadah seseorang diantara kalian, maka cucilah wadah tersebut tujuh kali” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/330 nomor 172), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/234 nomor 279), HR. Malik dalam al-Muwaththa’ nya (1/34 nomor 90)
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِتُرَابٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ’Uyaynah dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”ketika anjing menjilat wadah seseorang di antara kalian maka cucilah wadah tersebut tujuh kali, yang pertama atau yang terakhirnya dengan menggunakan tanah” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (80), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/241), HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/151-152 nomor 91, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hadits hasan shahih)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَقُلْنَا فِي الْكَلْبِ بِمَا أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَكَانَ الْخِنْزِيرُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرٍّ مِنْ حَالِهِ لَمْ يَكُنْ فِي خَيْرٍ مِنْهَا فَقُلْنَا بِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ، وَقُلْنَا فِي النَّجَاسَةِ سِوَاهُمَا بِمَا:
Imam asy-Syafi’i berkata: maka kami katakan di dalam masalah (najisnya) anjing dengan apa – apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan adapun babi ketika tidak ada di dalamnya keburukan dari berubahnya, tidak ada padanya kebaikan darinya (maksudnya babi tidaklah lebih baik daripada anjing, bahkan lebih buruk lagi). Maka kami katakan dengannya qiyas atasnya. Dan kami katakan tentang najis yang lain (yaitu najis seperti bangkai dan darah sebagaimana tersebut di atas) dengan hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ أَنَّهُ سَمِعَ امْرَأَتَهُ فَاطِمَةَ بِنْتَ الْمُنْذِرِ تَقُولُ سَمِعْت جَدَّتِي أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ تَقُولُ سَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: «حُتِّيهِ ثُمَّ اُقْرُصِيهِ ثُمَّ رُشِّيهِ وَصَلِّي فِيهِ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari Hisyam bin ‘Urwah bahwasanya dia mendengar istrinya Fatimah binti al-Mundzir mengatakan aku mendengar nenekku Asma’ binti Abu Bakr mengatakan, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian, Rasulullah bersabda: “gosoklah ia kemudian keriklah kemudian percikilah ia dan sholatlah di dalamnya” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (8), Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan bahwa hadits ini hadits shahih).[1][5]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ سَأَلَتْ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْت إحْدَانَا إذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَهَا: «إذَا أَصَابَ ثَوْبَ إحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّ فِيهِ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fathimah binti al-Mundzir dari Asma’ dia berkata, seorang wanita bertanya kepada Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, aku melihat salah seorang di antara kami ketika pakaiannya terkena darah haid, bagaimana aku harus membuatnya? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “ketika pakaian salah seorang di antara kalian terkena darah haid, maka keriklah ia kemudian perciki ia dengan air kemudian shalatlah di dalamnya” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/395 nomor 227 dan 307), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/240 nomor 291)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِغَسْلِ دَمِ الْحَيْضَةِ، وَلَمْ يُوَقِّتْ فِيهِ شَيْئًا وَكَانَ اسْمُ الْغُسْلِ يَقَعُ عَلَى غَسْلِهِ مَرَّةً وَأَكْثَرَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] فَأَجْزَأَتْ مَرَّةٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ هَذَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْغُسْلِ
Imam asy-Syafi’i berkata: maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci darah haid, dan tidak ditentukan waktunya (jumlahnya) di dalamnya sedikitpun. Dan adalah kata “al-ghuslu” (basuhan/cucian) terdapat pada mencucinya satu kali atau lebih sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala:
{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6]
“Maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian hingga kedua siku” (QS. Al-Maidah: 6)
Maka boleh membasuhnya satu kali, karena setiap hal ini terdapat padanya kata “al-ghuslu” (basuhan/cucian).
(قَالَ) : فَكَانَتْ الْأَنْجَاسُ كُلُّهَا قِيَاسًا عَلَى دَمِ الْحَيْضَةِ، لِمُوَافَقَتِهِ مَعَانِي الْغُسْلِ وَالْوُضُوءِ فِي الْكِتَابِ وَالْمَعْقُولِ، وَلَمْ نَقِسْهُ عَلَى الْكَلْبِ؛ لِأَنَّهُ تَعَبُّدٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ اسْمَ الْغُسْلِ يَقَعُ عَلَى وَاحِدَةٍ وَأَكْثَرَ مِنْ سَبْعٍ، وَأَنَّ الْإِنَاءَ يُنَقَّى بِوَاحِدَةٍ، وَبِمَا دُونَ السَّبْعِ، وَيَكُونُ بَعْدَ السَّبْعِ فِي مُمَاسَّةِ الْمَاءِ مِثْلَ قَبْلِ السَّبْعِ؟
Maka adalah najis – najis tersebut semuanya diqiyaskan atas darah haid. Untuk menyepakatinya makna ‘al-ghuslu’ (basuhan atau cucian) dan wudlu di dalam al-kitab dan akal. Dan tidaklah mencelanya atas anjing, karena hal itu adalah ibadah, tidakkah anda melihat bahwasanya kata ‘al-ghuslu’ (basuhan atau cucian) itu terdapat pada satu dan lebih banyak dari tujuh. Dan bahwasanya wadah yang dibersihkan atau disucikan dengan satu kali basuhan, dan tanpa tujuh kali basuhan, dan adalah setelah tujuh kali bersentuhan dengan air seperti atau sebagaimana sebelum ketujuh kalinya?
(قَالَ) : وَلَا نَجَاسَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ الْأَحْيَاءِ مَاسَّتْ مَاءً قَلِيلًا، بِأَنْ شَرِبَتْ مِنْهُ أَوْ أَدْخَلَتْ فِيهِ شَيْئًا مِنْ أَعْضَائِهَا، إلَّا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ، وَإِنَّمَا النَّجَاسَةُ فِي الْمَوْتَى، أَلَا تَرَى أَنَّ الرَّجُلَ يَرْكَبُ الْحِمَارَ، وَيَعْرَقُ الْحِمَارُ وَهُوَ عَلَيْهِ، وَيَحِلُّ مَسُّهُ؟ فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: مَا الدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ؟
Dan tidaklah najis di dalam segala sesuatu dari makhluk hidup (binatang) yang menyentuh air yang sedikit. Baik dengan cara meminumnya atau masuk ke dalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya, kecuali anjing dan babi. Dan sesungguhnya najis di dalam binatang yang telah mati. Tidakkah anda melihat bahwasanya seseorang menunggangi keledai, dan keledai tersebut berkeringat sedangkan dia ada di atasnya, dan dia menghalalkan untuk menyentuhnya? Ketika seseorang berkata: apakah dalil atas hal itu?
قِيلَ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - سُئِلَ: أَيُتَوَضَّأُ بِمَا أَفَضَلَتْ الْحُمُرُ؟ فَقَالَ: نَعَمْ وَبِمَا أَفَضَلَتْ السِّبَاعُ كُلُّهَا» .
Dikatakan, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Dawud bin al-Hushain dari ayahnya dari Jabir bin ‘Abdillah, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: apakah berwudlu dengan apa – apa sisa keledai? Maka Rasul bersabda: ya, dan dengan apa – apa sisa binatang buas semuanya” (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 22), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/249), Ibnu Mulaqqin di dalam al-Badr al-Munir tidak mengatakan secara jelas derajat hadits ini akan tetapi beliau menjelaskan perawi – perawi yang ada di dalamnya diantaranya adalah Ibrahim bin Abi Yahya yang oleh jumhur dinilai dhoif).[1][6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ أَبِي حَبِيبَةَ أَوْ أَبِي حَبِيبَةَ " شَكَّ الرَّبِيعُ " عَنْ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِمِثْلِهِ
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Said bin Salim dari Ibnu Abi Habibah –Ar-Rabi’ ragu- dari Dawud bin al-Hushain dari Jabin bin Abdillah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan yang semisal (hadits di atas).
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ حَمِيدَةَ بِنْتِ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ «عَنْ كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، وَكَانَتْ تَحْتَ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ فَسَكَبَتْ لَهُ وُضُوءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ مِنْهُ قَالَتْ: فَرَآنِي أَنْظُرُ إلَيْهِ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّهَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَوْ الطَّوَّافَاتِ» .
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ishak bin Abdillah dari Hamidah binti ‘Ubaid bin Rifa’ah, “dari Kabsyah binti Ka’bi bin Malik dan adalah di bawah ibnu Abi Qatadah bahwa Aba Qatadah masuk maka menuangkan baginya air wudlu maka datang kucing maka ia minum darinya, Ia berkata: maka ia melihatku memandanginya maka ia bertanya, "Apakah engkau heran, wahai putri saudaraku? Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kamu " (HR. Malik dalam Muwaththa’ nya (1/22/23), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 9), HR. Ahmad dalam Musnad-nya (5/296, 303,309), HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/303, nomor 736), HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/184-185, nomor 76), HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/153-154, nomor 96), HR. Nasa’i dalam Sunan-nya (1/57, nomor 68), HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/131, nomor 367), HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/55, nomor 104), HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (4/114-115, nomor 1299), HR. Hakim dalam Mustadrak-nya (1/160), HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/245), Ibnu Mulaqqin mengatakan dalam al-Badr al-Munir: hadits ini hadits shahih masyhur).[1][7]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِثْلَهُ أَوْ مِثْلَ مَعْنَاهُ
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: telah mengabarkan kepada kami ats-Tsiqah dari Yahya bin Abi Katsir dari ‘Abdillah bin Abi Qatadah dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hadits yang semisal dengannya atau yang semisal maknanya.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَقِسْنَا عَلَى مَا عَقَلْنَا مِمَّا وَصَفْنَا، وَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَبَيْنَ مَا سِوَاهُمَا مِمَّا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهَا شَيْءٌ حُرِّمَ أَنْ يُتَّخَذَ إلَّا لِمَعْنًى، وَالْكَلْبُ حُرِّمَ أَنْ يُتَّخَذَ لَا لِمَعْنَى، وَجَعَلَ يَنْقُصُ مِنْ عَمَلِ مَنْ اتَّخَذَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْنًى كُلَّ يَوْمٍ - قِيرَاطٌ أَوْ قِيرَاطَانِ، مَعَ مَا يَتَفَرَّقُ بِهِ مِنْ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا هُوَ فِيهِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَفَضْلُ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ الدَّوَابِّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، أَوْ لَا يُؤْكَلُ حَلَالٌ إلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka berdasarkan atas apa – apa yang terdapat pada pemikiran kami dari apa – apa yang kami gambarkan, adalah pembagian antara anjing, babi, dan antara yang selainnya dari yang tidak dimakan dagingnya, bahwasanya ia (hewan yang tidak dimakan dagingnya) tidak dianggap haram kecuali secara maknawi saja. Dan anjing diharamkan karena ditetapkan sebagai haram tidak karena secara maknawi saja, serta anjing menjadikan menurun amal seseorang yang menjadikannya dari selain makna (maksudnya orang yang memeliharanya di rumah tanpa keperluan), setiap hari – satu qirath (4/6 dinar) atau dua qirath[1][8], dan bahwasanya Malaikat tidak masuk kedalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing dan yang lainnya (lukisan)[1][9]. Maka yang lebih utama adalah bahwa segala jenis hewan yang dimakan dagingnya atau yang tidak dimakan dagingnya adalah halal kecuali anjing dan babi.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا تَغَيَّرَ الْمَاءُ الْقَلِيلُ أَوْ الْكَثِيرُ فَأَنْتَنَ أَوْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ بِلَا حَرَامٍ خَالَطَهُ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ، وَكَذَلِكَ لَوْ بَالَ فِيهِ إنْسَانٌ فَلَمْ يَدْرِ أَخَالَطَهُ نَجَاسَةٌ أَمْ لَا وَهُوَ مُتَغَيِّرُ الرِّيحِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الطَّعْمِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى تُعْلَمَ نَجَاسَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُتْرَكُ لَا يُسْتَقَى مِنْهُ فَيَتَغَيَّرُ، وَيُخَالِطُهُ الشَّجَرُ وَالطُّحْلُبُ فَيُغَيِّرُهُ.
Imam asy-Syafi’i berkata: apabila air yang sedikit atau banyak telah berubah sehingga membusuk atau berubah warnanya dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagi air yang suci. Demikian juga halnya apabila seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui apakah air itu bercampur najis atau tidak sementara warna, bau dan rasanya telah berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab najisnya. Karena ketika air itu dibiarkan dan tidak diambil sebagai air minum, maka barangkali saja ia berubah dikarenakan bercampur dengan pohon dan lumut.
(قَالَ) : وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ.
Apabila sesuatu yang halal terjatuh pada air dan merubah bau dan rasanya, akan tetapi air tidak menjadi rusak olehnya, maka seseorang bisa menggunakannya untuk berwudhu; seperti apabila yang jatuh ke dalam air itu adalah susu atau ‘ter’ atau yang semisalnya sehingga menimbulkan aroma tersendiri.
وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ وَإِنْ طُرِحَ مِنْهُ فِيهِ شَيْءٌ قَلِيلٌ يَكُونُ مَا طُرِحَ فِيهِ مِنْ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ، وَيَكُونُ لَوْنُ الْمَاءِ الظَّاهِرُ وَلَا طَعْمَ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا فِيهِ تَوَضَّأَ بِهِ، وَهَذَا مَاءٌ بِحَالِهِ وَهَكَذَا كُلُّ مَا خَالَطَ الْمَاءَ مِنْ طَعَامٍ، وَشَرَابٍ وَغَيْرِهِ إلَّا مَا كَانَ الْمَاءُ قَارًّا فِيهِ، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ قَارًّا فِي الْأَرْضِ فَأَنْتَنَ أَوْ تَغَيَّرَ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا اسْمَ لَهُ دُونَ الْمَاءِ، وَلَيْسَ هَذَا كَمَا خُلِطَ بِهِ مِمَّا لَمْ يَكُنْ فِيهِ.
Adapun jika air bercampur dengan susu, tepung, atau madu, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat digunakan untuk berwudhu dikarenakan air yang didominasi oleh benda-benda itu dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, seperti dikatakan; air tepung, air susu, atau air madu yang bercampur.
Kemudian apabila sesuatu yang mempunyai kadar rendah dimasukkan ke dalam air tersebut; baik berupa tepung, susu atau madu, lalu benda-benda ini tampak pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh digunakan untuk berwudhu, sebab air itu tidak berubah (sebagaimana adanya). Dan air ini dengan keadannya dan setiap apa – apa yang mencampuri air dari makanan dan minuman dan yang selainnya kecuali apa – apa yang menetap pada air tersebut, maka apabila air menetap pada bumi, sehingga membusuk atau berubah, maka dibolehkan berwudlu dengannya, karena air tersebut tidak akan memiliki nama tanpa adanya air. Dan tidaklah hal ini (membusuk atau berubahnya air) sebagaimana bercampur dengan air tersebut dari apa – apa yang tidak terdapat padanya.
وَلَوْ صَبَّ عَلَى الْمَاءِ مَاءَ وَرْدٍ فَظَهَرَ رِيحُ مَاءِ الْوَرْدِ عَلَيْهِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ وَالْمَاءُ الظَّاهِرُ لَا مَاءُ الْوَرْدِ (قَالَ) : وَكَذَلِكَ لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ قَطْرَانٌ فَظَهَرَ رِيحُ الْقَطْرَانِ فِي الْمَاءِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّ الْقَطْرَانَ وَمَاءَ الْوَرْدِ يَخْتَلِطَانِ بِالْمَاءِ فَلَا يَتَمَيَّزَانِ مِنْهُ.
Demikian halnya jika dituangkan air mawar di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma air mawar, maka tidak boleh berwudhu dengannya. Karena air tersebut sudah didominasi oleh air mawar, dan air secara dzahir bukanlah air mawar. Demikian halnya jika dituangkan padanya minyak kayu cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu cendana, maka tidak boleh berwudlu dengannya. Akan tetapi jika tidak menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk berwudlu dengannya; karena apabila minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak dapat dibedakan.
وَلَوْ صُبَّ فِيهِ دُهْنٌ طَيِّبٌ أَوْ أُلْقِيَ فِيهِ عَنْبَرٌ أَوْ عُودٌ أَوْ شَيْءٌ ذُو رِيحٍ لَا يَخْتَلِطُ بِالْمَاءِ فَظَهَرَ رِيحُهُ فِي الْمَاءِ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْهُ يُسَمَّى الْمَاءُ مَخُوضًا بِهِ، وَلَوْ كَانَ صُبَّ فِيهِ مِسْكٌ أَوْ ذَرِيرَةٌ أَوْ شَيْءٌ يَنْمَاعُ فِي الْمَاءِ حَتَّى يَصِيرَ الْمَاءُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ مِنْهُ فَظَهَرَ فِيهِ رِيحٌ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ مَاءٌ مَخُوضٌ بِهِ وَإِنَّمَا يُقَالُ لَهُ مَاءُ مِسْكٍ مَخُوضَةٍ، وَذَرِيرَةٍ مَخُوضَةٍ وَهَكَذَا كُلُّ مَا أُلْقِيَ فِيهِ مِنْ الْمَأْكُولِ مِنْ سَوِيقٍ أَوْ دَقِيقٍ وَمَرَقٍ وَغَيْرِهِ إذَا ظَهَرَ فِيهِ الطَّعْمُ وَالرِّيحُ مِمَّا يَخْتَلِطُ فِيهِ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ حِينَئِذٍ مَنْسُوبٌ إلَى مَا خَالَطَهُ مِنْهُ.
Jika minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang mempunyai aroma dituangkan ke dalam air, namun tidak dapat melebur di dalamnya melainkan menimbulkan bau, maka dibolehkan berwudhu dengan air itu, karena tidak ada sesuatu pun dari benda-benda tersebut yang bercampur dengannya, dan air tersebut dinamakan dengan zat – zat yang tercebur di dalamnya.
Jika dituangkan minyak kesturi atau dzarirah (sejenis wangi-wangian) atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat dibedakan, lalu timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudlu dengan air itu, karena dia bukan air lagi, tapi air yang bercampur dengan benda. Dan disebut air tersebut sebagai air minyak kesturi atau air dzarirah dan yang lainnya yang dijatuhkan di dalamnya dari hal – hal yang dimakan seperti tepung atau kaldu dan yang selainnya ketika tampak padanya rasanya atau baunya dari apa – apa yang mencampurinya maka tidak boleh berwudlu dengannya karena air tersebut saat itu ternisbatkan kepada apa yang mencampurinya.
Pasal tentang Junub dan yang Selainnya
[فَصْلٌ الْجُنُبُ وَغَيْرُهُ]
Pasal tentang Junub dan yang Selainnya
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَغْتَسِلُ مِنْ الْقَدَحِ، وَهُوَ الْفَرَق وَكُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: telah mengabarkan kepada kami Sufyan, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dari baskom, yaitu satu faraq[1][1], dan adalah aku mandi, aku dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu wadah yang sama. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/255 nomor 319/41))[1][2]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إنَّ الرِّجَالَ، وَالنِّسَاءَ كَانُوا يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَمِيعًا
Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwasanya dia berkata: Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, laki – laki dan perempuan berwudlu bersama – sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 193)[1][3], HR. An-Nasa’i dalam Sunan-nya (Nomor 71)[1][4])
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ «كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah dia berkata: Adalah aku mandi, aku dan Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah yang sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/433 nomor 250), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/255 nomor 319))[1][5]
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَالنَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari ‘Amri bin Diinar dari Abi asy-Sya’tsai dari Ibnu ‘Abbas dari Maimunah bahwasanya dia mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah yang sama. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/436 nomor 253), HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/257 nomor 322))[1][6]
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ «عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ فَرُبَّمَا قُلْت لَهُ أَبْقِ لِي أَبْقِ لِي»
Telah mengabarkan kepada kami Sufyan Ibnu ‘Uyaynah dari ‘Ashim dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah dari Aisyah dia berkata: adalah aku mandi, aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah maka kadang - kadang aku berkata kepadanya, sisakan untukku, sisakan untukku. (HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (nomor 107)[1][7], HR. Ahmad dalam Musnad-nya (nomor 24599))[1][8]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) رُوِيَ عَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ عَنْ الْقَاسِمِ «عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ الْجَنَابَةِ»
Imam asy-Syafi’i berkata: diriwayatkan dari Salim Abi an-Nadhr dari al-Qasim dari ‘Aisyah dia berkata, aku mandi, aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu wadah karena junub. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/61 nomor 263))[1][9]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا نَأْخُذُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِفَضْلِ الْجُنُبِ، وَالْحَائِضِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اغْتَسَلَ وَعَائِشَةَ مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ الْجَنَابَةِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ صَاحِبِهِ، وَلَيْسَتْ الْحَيْضَةُ فِي الْيَدِ وَلَيْسَ يَنْجُسُ الْمُؤْمِنُ إنَّمَا هُوَ تَعَبُّدٌ بِأَنْ يُمَاسَّ الْمَاءَ فِي بَعْضِ حَالَتِهِ دُونَ بَعْضٍ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan dengan ini kami mengambil bahwa tidak mengapa mandi dari sisa orang junub dan haid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan ‘Aisyah dari satu wadah karena junub, maka setiap salah satunya mandi dari sisa yang lainnya. Dan tidaklah haid itu di dalam tangan dan tidak pula najis orang yang mukmin. Sesungguhnya hal itu (mandi) adalah ibadah dengan menyentuh air dalam sebagian hal, dan tanpa menyentuh air pada sebagian hal yang lain.
Air Orang Nashrani dan Wudlu Darinya
[مَاء النَّصْرَانِيّ وَالْوُضُوءُ مِنْهُ]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ تَوَضَّأَ مِنْ مَاءِ نَصْرَانِيَّةٍ فِي جَرَّةِ نَصْرَانِيَّةٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَاءِ الْمُشْرِكِ وَبِفَضْلِ وُضُوئِهِ مَا لَمْ يَعْلَمْ فِيهِ نَجَاسَةً؛ لِأَنَّ لِلْمَاءِ طَهَارَةً عِنْدَ مَنْ كَانَ وَحَيْثُ كَانَ حَتَّى تُعْلَمَ نَجَاسَةٌ خَالَطَتْهُ.
Air Orang Nashrani dan Wudlu Darinya
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyaynah dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa ‘Umar bin Khattab berwudlu dari air wanita nashrani dalam wadah wanita nashrani. (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya (1/52 nomor 129)[1][1], Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Khulashatul Ahkam bahwa hadits ini sanadnya shahih[1][2])
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak mengapa wudlu dari air orang yang musyrik dan dengan air sisa wudlunya selama tidak diketahui di dalamnya terdapat najis. Karena sesungguhnya air itu suci disisi siapa saja dan di mana saja, hingga diketahui najis telah mencampurinya.
Bab Bejana – Bejana yang Boleh Berwudlu di Dalamnya dan yang Tidak Boleh
[بَابُ الْآنِيَةِ الَّتِي يُتَوَضَّأُ فِيهَا وَلَا يُتَوَضَّأُ]
Bab Bejana – Bejana yang Boleh Berwudlu di Dalamnya dan yang Tidak Boleh
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ «مَرَّ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ قَدْ كَانَ أَعْطَاهَا مَوْلَاةً لِمَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ فَهَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا؟ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّهَا مَيِّتَةٌ فَقَالَ إنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai domba yang diberikan kepada budaknya Maimunah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi berkata apakah kalian tidak mengambil manfaat dengan kulitnya? Mereka berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya itu adalah bangkai, Rasul bersabda: sesungguhnya yang diharamkan hanyalah memakannya. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/276 – 277 nomor 363/101)[1][1]
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِثْلَهُ،
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari az-Zuhri dari ‘Ubaidillah dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hadits yang seperti itu.
أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ سَمِعَ ابْنَ وَعْلَةَ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ سَمِعَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ «أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ»
Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyaynah dari Zaid bin Aslam mendengar Ibnu Wa’lah mendengar Ibnu ‘Abbas mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila kulit telah disamak, maka ia telah suci. (HR. Tirmidzi dalam Jami’-nya (4/193-194, nomor 1728), HR. Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (halaman 10), Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini adalah hadits hasan shahih, Ibnu Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir mengatakan hadits ini hadits shahih)[1][2].
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ ابْنِ وَعْلَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Wa’lah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: Ketika kulit telah disamak, maka ia telah suci. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/277, nomor 366)[1][3]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَمَرَ أَنْ يُسْتَمْتَعَ بِجُلُودِ الْمَيْتَةِ إذَا دُبِغَتْ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yazid bin ‘Abdillah bin Qusayth dari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Tsauban dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan mengambil manfaat dari kulit bangkai hewan ketika disamak. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (nomor 4124)[1][4], HR. Nasa’i dalam Sunan-nya (nomor 4252)[1][5], HR. Malik dalam Muwaththa’ –nya (nomor 485/1831)[1][6], HR. Ahmad dalam Musnad-nya (nomor 24730)[1][7], HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (nomor 1286)[1][8], HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra-nya (nomor 51)[1][9], Imam an-Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Sharh al-Muhadzab mengatakan: hadits ini hadits hasan dengan sanadnya yang hasan)[1][10]).
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَيُتَوَضَّأُ فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ كُلِّهَا إذَا دُبِغَتْ وَجُلُودِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنْ السِّبَاعِ قِيَاسًا عَلَيْهَا إلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ، وَالْخِنْزِيرِ فَإِنَّهُ لَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ؛ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ فِيهِمَا وَهُمَا حَيَّانِ قَائِمَةٌ، وَإِنَّمَا يَطْهُرُ بِالدَّبَّاغِ مَا لَمْ يَكُنْ نَجِسًا حَيًّا.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka boleh berwudlu dalam kulit – kulit bangkai seluruhnya ketika telah disamak. Kulit – kulit binatang yang tidak dimakan dagingnya dari binatang – binatang yang buas juga diqiyaskan atasnya kecuali kulit anjing dan babi. Maka sesungguhnya ia (kulit anjing dan babi tersebut) tidak suci dengan menyamaknya karena najis di dalam keduanya ada sejak keduanya hidup. Dan sesungguhnya suci dengan menyamak hewan – hewan yang tidak najis ketika hidup.
وَالدِّبَاغُ بِكُلِّ مَا دَبَغَتْ بِهِ الْعَرَبُ مِنْ قَرْظٍ، وَشَبٍّ وَمَا عَمِلَ عَمَلَهُ مِمَّا يَمْكُثُ فِيهِ الْإِهَابُ حَتَّى يُنَشِّفَ فُضُولَهُ وَيُطَيِّبَهُ وَيَمْنَعَهُ الْفَسَادَ إذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ،
Dan disamak dari setiap apa – apa yang orang arab menyamaknya dari daun yang dapat dipakai untuk menyamak, dan syabbin[1][11], dan apa – apa yang dilakukan terhadap yang tinggal di dalam kulit tersebut hingga kering lendir – lendirnya dan membaguskannya serta menjaganya dari kerusakan ketika tertuang air kepadanya.
وَلَا يَطْهُرُ إهَابُ الْمَيْتَةِ مِنْ الدِّبَاغِ إلَّا بِمَا وَصَفْت، وَإِنْ تَمَعَّطَ شَعْرُهُ فَإِنَّ شَعْرَهُ نَجِسٌ، فَإِذَا دُبِغَ وَتُرِكَ عَلَيْهِ شَعْرُهُ فَمَاسَّ الْمَاءُ شَعْرَهُ نَجُسَ الْمَاءُ،
Dan tidaklah suci kulit bangkai binatang buas kecuali dengan apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan jika rontok rambutnya maka sesungguhnya rambutnya adalah najis. Maka ketika disamak dan ditinggalkan atasnya rambutnya maka kemudian rambut tersebut menyentuh air maka airnya menjadi najis.
وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ فِي بَاطِنِهِ وَكَانَ شَعْرُهُ ظَاهِرًا لَمْ يَنْجُسْ الْمَاءُ إذَا لَمْ يُمَاسَّ شَعْرَهُ، فَأَمَّا جِلْدُ كُلِّ ذَكِيٍّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْرَبَ وَيَتَوَضَّأَ فِيهِ إنْ لَمْ يُدْبَغْ؛ لِأَنَّ طَهَارَةَ الذَّكَاةِ وَقَعَتْ عَلَيْهِ فَإِذَا طَهُرَ الْإِهَابُ صُلِّيَ فِيهِ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ،
Dan apabila air terdapat di bagian dalam dan rambutnya di bagian luar, tidak menajiskan air ketika tidak menyentuh rambutnya. Maka adapun kulit binatang yang disembelih yang dimakan dagingnya maka tidak mengapa minum dan berwudlu di dalamnya ketika tidak disamak. Hal ini karena sucinya dengan penyembelihan dan terdapat padanya. Maka ketika kulit tersebut suci, maka boleh shalat di dalamnya dan shalat atasnya.
وَجُلُودُ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ السِّبَاعِ وَغَيْرِهَا مِمَّا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ سَوَاءٌ ذَكِيُّهُ وَمَيِّتُهُ؛ لِأَنَّ الذَّكَاةَ لَا تُحِلُّهَا فَإِذَا دُبِغَتْ كُلُّهَا طَهُرَتْ؛ لِأَنَّهَا فِي مَعَانِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ إلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فَإِنَّهُمَا لَا يَطْهُرَانِ بِحَالٍ أَبَدًا
Dan kulit – kulit beberapa binatang buas dan yang selainnya dari yang tidak dimakan dagingnya maka sama saja antara yang disembelih ataupun bangkainya. Karena hewan yang disembelih itu tidak halal maka ketika disamak semuanya maka kulit tersebut akan menjadi suci. Hal ini karena kulit tersebut tercakup di dalam makna kulit – kulit bangkai kecuali kulit anjing dan babi maka sesungguhnya keduanya tidak akan suci dengan disamak selama – lamanya.
(قَالَ) : وَلَا يَتَوَضَّأُ وَلَا يَشْرَبُ فِي عَظْمِ مَيْتَةٍ وَلَا عَظْمِ ذَكِيٍّ لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِثْلِ عَظْمِ الْفِيلِ وَالْأَسَدِ وَمَا أَشْبَهَهُ؛ لِأَنَّ الدِّبَاغَ وَالْغُسْلَ لَا يُطَهِّرَانِ الْعَظْمَ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَكْرَهُ أَنْ يُدَهَّنَ فِي مُدْهُنٍ مِنْ عِظَامِ الْفِيلِ؛ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak boleh berwudlu dan minum di dalam tulang bangkai dan tidak pula dari tulang hewan yang disembelih yang tidak dimakan dagingnya seperti tulang gajah, tulang singa, dan yang menyerupainya. Hal ini karena penyamakan dan pencucian tidak mensucikan tulang tersebut.
Meriwayatkan ‘Abdullah bin Dinar bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Umar memakruhkan meminyaki dalam botol minyak yang terbuat dari tulang gajah, karena tulang tersebut adalah bangkai.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَنْ تَوَضَّأَ فِي شَيْءٍ مِنْهُ أَعَادَ الْوُضُوءَ وَغَسَلَ مَا مَسَّهُ مِنْ الْمَاءِ الَّذِي كَانَ فِيهِ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka siapa saja yang berwudlu di dalam segala sesuatu yang berasal darinya (tulang atau segala sesuatu selain kulit yang disamak) maka ia harus mengulangi wudlunya dan mencuci apa – apa yang menyentuhnya, dari air yang terdapat di dalamnya (mencuci apa – apa yang disentuh oleh air yang terdapat dalam tulang tsb).
Bejana – Bejana Selain Kulit
[الْآنِيَةُ غَيْرُ الْجُلُودِ]
Bejana – Bejana Selain Kulit
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَكْرَهُ إنَاءً تُوُضِّئَ فِيهِ مِنْ حِجَارَةٍ ، وَلَا حَدِيدٍ ، وَلَا نُحَاسٍ ، وَلَا شَيْءٍ غَيْرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ إلَّا آنِيَةَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، فَإِنِّي أَكْرَهُ الْوُضُوءَ فِيهِمَا.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak makruh wudlu dari bejana yang terbuat dari kayu, besi, tembaga, dan dari segala sesuatu selain yang berasal dari makhluk hidup kecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak. Maka sesungguhnya aku memakruhkan wudlu di dalam keduanya (bejana yang terbuat dari emas dan perak tersebut).
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - " أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ»
Imam asy-Syafi’i berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ‘Abdillah bin ‘Abdi ar-Rahman bin Abi Bakrin dari Ummi Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berkata: “Orang – orang yang minum di dalam wadah/bejana yang terbuat dari perak sesungguhnya ia menuang api jahannam di dalam perutnya” (HR. Malik dalam Muwaththa’ nya (2/705, nomor 11), HR. Bukhari dalam Shahih-nya (10/98, nomor 5634), HR. Muslim dalam Shahih-nya (3/1634, nomor 2065))[1][1]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ تَوَضَّأَ أَحَدٌ فِيهَا، أَوْ شَرِبَ، كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُ، وَلَمْ آمُرْهُ يُعِيدُ الْوُضُوءَ، وَلَمْ أَزْعُمْ أَنَّ الْمَاءَ الَّذِي شَرِبَ، وَلَا الطَّعَامَ الَّذِي أَكَلَ فِيهَا مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ، وَكَانَ الْفِعْلُ مِنْ الشُّرْبِ فِيهَا مَعْصِيَةً،
Imam asy-Syafi’i berkata: maka ketika seseorang berwudlu di dalamnya, atau minum di dalamnya, aku memakruhkan yang demikian itu baginya. Dan aku tidaklah memerintahkannya mengulangi wudlunya. Dan aku tidak berkata bahwasanya air yang diminum dan makanan yang dimakan di dalamnya adalah haram atasnya. Dan adalah perbuatan minum di dalamnya tersebut adalah maksiat.
فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يُنْهَى عَنْهَا وَلَا يَحْرُمُ الْمَاءُ فِيهَا؟ قِيلَ لَهُ - إنْ شَاءَ اللَّهُ - إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إنَّمَا نَهَى عَنْ الْفِعْلِ فِيهَا لَا عَنْ تِبْرِهَا وَقَدْ فُرِضَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ وَتَمَوَّلَهَا الْمُسْلِمُونَ وَلَوْ كَانَتْ نَجِسًا لَمْ يَتَمَوَّلْهَا أَحَدٌ وَلَمْ يَحِلَّ بَيْعُهَا وَلَا شِرَاؤُهَا.
Maka jika dikatakan: maka bagaimana melarang darinya dan tidak mengharamkan air yang terdapat di dalamnya? Dikatakan kepadanya: insya Allah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam ketika melarang dari perbuatan tersebut tidaklah dari kerusakannya (bejana perak tersebut), dan sungguh difardlukan atasnya zakat dan kaum muslimin menjadikannya harta, apabila perak tersebut adalah najis, tidaklah seseorang menjadikannya harta dan tidaklah halal menjual dan membelinya.
Bab Air yang Meragukan di Dalamnya
[بَابُ الْمَاءِ يَشُكُّ فِيهِ]
Bab Air yang Meragukan di Dalamnya
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُسَافِرًا، وَكَانَ مَعَهُ مَاءٌ، فَظَنَّ أَنَّ النَّجَاسَةَ خَالَطَتْهُ، فَتَنَجَّسَ، وَلَمْ يَسْتَيْقِنْ، فَالْمَاءُ عَلَى الطَّهَارَةِ، وَلَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ، وَيَشْرَبَهُ، حَتَّى يَسْتَيْقِنَ مُخَالَطَةَ النَّجَاسَةِ بِهِ،
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: dan ketika seseorang dalam perjalanan, dan terdapat air bersamanya, sedangkan dia menduga bahwa terdapat najis yang bercampur dengannya, maka air tersebut najis dan menajiskan. Dan bila tidak yakin/tidak pasti, maka air tersebut suci dan boleh baginya berwudlu dan meminumnya hingga yakin/pasti bahwa najis telah bercampur dengannya.
وَإِنْ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ وَكَانَ يُرِيدُ أَنْ يُهْرِيقَهُ، وَيُبَدِّلَهُ بِغَيْرِهِ، فَشَكَّ أَفَعَلَ أَمْ لَا؟ فَهُوَ عَلَى النَّجَاسَةِ، حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ أَهْرَاقَهُ، وَأَبْدَلَ غَيْرَهُ،
Dan apabila yakin terdapat najis dan ingin menuangkannya, dan menukarnya dengan selainnya, maka kemudian ragu apakah sudah melakukannya ataukah belum? Maka dia (air tersebut) adalah najis, hingga yakin/pasti bahwasanya dia telah menuangkannya dan menggantinya dengan selainnya.
وَإِذَا قُلْتُ فِي الْمَاءِ: فَهُوَ عَلَى النَّجَاسَةِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ، إنْ لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ، وَلَهُ إنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ أَنْ يَشْرَبَهُ؛ لِأَنَّ فِي الشُّرْبِ ضَرُورَةَ خَوْفِ الْمَوْتِ
Dan ketika aku mengatakan tentang air: maka dia adalah najis maka tidak boleh baginya berwudlu dengannya, dan atasnya tayammum. Ketika seseorang tidak menemukan air yang selain itu, dan baginya mengharuskan untuk meminumnya maka dia boleh meminumnya, hal ini karena di dalam meminumnya tersebut ada darurat khawatir akan kematian.
وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي الْوُضُوءِ، فَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى التُّرَابَ طَهُورًا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ، وَهَذَا غَيْرُ وَاجِدٍ مَاءً يَكُونُ طَهُورًا،
Namun tidak demikian halnya di dalam wudlu. Maka sungguh Allah tabaraka wa ta’ala menjadikan tanah itu mensucikan bagi siapa saja yang tidak mendapati air, dan ini adalah (termasuk) selain orang yang menemukan air yang suci.
وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ فِي السَّفَرِ وَمَعَهُ مَاءَانِ اسْتَيْقَنَ أَنَّ أَحَدَهُمَا نَجِسٌ وَالْآخَرَ لَمْ يَنْجُسْ فَأَهْرَاقَ النَّجِسَ مِنْهُمَا عَلَى الْأَغْلَبِ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ تَوَضَّأَ بِالْآخَرِ، وَإِنْ خَافَ الْعَطَشَ حَبَسَ الَّذِي الْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ وَتَوَضَّأَ بِالطَّاهِرِ عِنْدَهُ،
Dan ketika seseorang berada dalam perjalanan dan bersamanya ada dua air yang yakin bahwa salah satunya najis dan yang lainnya tidak najis, maka dia menumpahkan yang najis dari keduanya sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis (menurut dia itu adalah air yang najis), maka berwudlu dengan yang terakhir (dengan yang tidak najis). Dan apabila takut kehausan, mencegah yang sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis (maksudnya yang diyakini najis tidak dibuang untuk diminum dalam keadaan darurat), dan berwudlu dengan yang suci disisinya.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ قَدْ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ فِي شَيْءٍ فَكَيْفَ يَتَوَضَّأُ بِغَيْرِ يَقِينِ الطَّهَارَةِ؟ قِيلَ لَهُ: إنَّهُ اسْتَيْقَنَ النَّجَاسَةَ فِي شَيْءٍ وَاسْتَيْقَنَ الطَّهَارَةَ فِي غَيْرِهِ فَلَا نُفْسِدُ عَلَيْهِ الطَّهَارَةَ إلَّا بِيَقِينِ أَنَّهَا نَجِسَةٌ وَاَلَّذِي تَأَخَّى فَكَانَ الْأَغْلَبُ عَلَيْهِ عِنْدَهُ أَنَّهُ غَيْرُ نَجِسٍ عَلَى أَصْلِ الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَمْكُنُ فِيهِ وَلَمْ يَسْتَيْقِنْ النَّجَاسَةَ،
Maka apabila berkata seseorang: sungguh telah yakin terdapat najis di dalam sesuatu (salah satunya) maka bagaimana mungkin dia berwudlu dengan yang selain yakin suci (maksudnya ia tidak yakin bahwa airnya tersebut suci)? Dikatakan kepadanya: sesungguhnya yakin terdapat najis di dalam sesuatu (salah satunya) dan yakin suci di dalam yang selainnya maka tidak merusak atasnya kesuciannya kecuali dengan keyakinan bahwasanya dia najis. Dan yang mencari maka adalah yang sebagian besar atasnya di sisinya (maksudnya menurut keyakinannya) bahwasanya dia selain najis atas asalnya suci. Hal ini karena kesucian mungkin di dalamnya dan tidaklah dia yakin bahwa itu adalah najis.
فَإِنْ قَالَ: فَقَدْ نَجَّسْتَ عَلَيْهِ الْآخَرَ بِغَيْرِ يَقِينِ نَجَاسَةٍ، قِيلَ: لَا، إنَّمَا نَجَّسْتُهُ عَلَيْهِ بِيَقِينِ أَنَّ أَحَدَهُمَا نَجِسٌ، وَأَنَّ الْأَغْلَبَ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ، فَلَمْ أَقُلْ فِي تَنْجِيسِهِ إلَّا بِيَقِينِ رَبِّ الْمَاءِ فِي نَجَاسَةِ أَحَدِهِمَا، وَالْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّ هَذَا النَّجِسَ مِنْهُمَا.
Maka apabila berkata: sungguh engkau telah menajiskan atasnya yang lain dengan tanpa yakin terdapat najis. Dikatakan kepadanya: tidak, sesungguhnya aku menajiskannya atasnya dengan yakin bahwasanya salah satunya najis dan bahwasanya sebagian besar disisinya dia adalah najis. Maka tidaklah aku mengatakan di dalam menajiskannya kecuali dengan yakin memiliki air di dalam najis salah satunya. Dan sebagian besar disisinya bahwasanya najis itu dari keduanya.
فَإِنْ اسْتَيْقَنَ بَعْدُ أَنَّ الَّذِي تَوَضَّأَ بِهِ النَّجِسُ وَاَلَّذِي تَرَكَ الطَّاهِرُ غَسَلَ كُلَّ مَا أَصَابَ ذَلِكَ الْمَاءُ النَّجِسُ مِنْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ، وَأَعَادَ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ، وَكَانَ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهَذَا الَّذِي كَانَ الْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّهُ نَجِسٌ حَتَّى اسْتَيْقَنَ طَهَارَتَهُ.
Maka apabila yakin setelah bahwasanya yang dipakai untuk berwudlu adalah najis, dan yang meninggalkan kesuciannya, membasuh setiap apa – apa yang ditimpa oleh air yang najis tersebut dari pakaiannya dan badannya, maka dia harus mengulangi wudlu dan shalatnya. Dan adalah baginya berwudlu dengan ini yang sebagian besar disisinya bahwasanya dia adalah najis, hingga ia yakin akan kesuciannya.
وَلَوْ اشْتَبَهَ الْمَاءَانِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَدْرِ أَيَّهُمَا النَّجِسُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ فِيهِمَا أَغْلَبُ، قِيلَ لَهُ إنْ لَمْ تَجِدْ مَاءً غَيْرَهُمَا فَعَلَيْك أَنْ تَتَطَهَّرَ بِالْأَغْلَبِ وَلَيْسَ لَك أَنْ تَتَيَمَّمَ،
Dan apabila tidak jelas dua air atasnya maka tidak menemukan dalam keduanya najis dan tidak pula disisinya di dalam keduanya yang sebagian besar (yang menurut dugaan kuatnya adalah najis atau suci), dikatakan kepadanya jika tidak menemukan air selain keduanya maka bagimu berwudlu dengan yang sebagian besar (yang menurut dugaan kuatnya tidak najis) dan tidak wajib bagimu untuk bertayamum.
وَلَوْ كَانَ الَّذِي أَشْكَلَ عَلَيْهِ الْمَاءَانِ أَعْمَى لَا يَعْرِفُ مَا يَدُلُّهُ عَلَى الْأَغْلَبِ وَكَانَ مَعَهُ بَصِيرٌ يُصَدِّقُهُ وَسِعَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْأَغْلَبَ عِنْدَ الْبَصِيرِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ أَحَدٌ يُصَدِّقُهُ أَوْ كَانَ مَعَهُ بَصِيرٌ لَا يَدْرِي أَيَّ الْإِنَاءَيْنِ نَجِسٌ وَاخْتَلَطَ عَلَيْهِ أَيُّهُمَا نَجِسٌ تَأَخَّى الْأَغْلَبَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ دَلَالَةٌ عَلَى الْأَغْلَبِ مِنْ أَيِّهِمَا نَجِسٌ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ أَحَدٌ يُصَدِّقُهُ تَأَخَّى عَلَى أَكْثَرِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ فَيَتَوَضَّأُ، وَلَا يَتَيَمَّمُ وَمَعَهُ مَاءَانِ: أَحَدُهُمَا طَاهِرٌ، وَلَا يَتَيَمَّمُ مَعَ الْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يُطَهِّرُ نَجَاسَةً إنْ مَاسَّتْهُ مِنْ الْمَاءِ، وَلَا يَجِبُ التَّيَمُّمُ مَعَ الْمَاءِ الطَّاهِرِ.
Dan apabila dia bingung atasnya dua air, sedangkan dia buta tidak mengenali apa – apa yang menunjukkan kepadanya atas yang sebagian besar (yang diduga najis atau suci) dan adalah bersamanya seseorang yang bisa melihat yang dia percaya kepadanya dia dapat menggunakan sebagian besar (dugaan kuat) disisi seseorang yang melihat. Maka apabila tidak terdapat bersamanya seseorang yang dia percaya kepadanya atau bersamanya seseorang yang bisa melihat yang tidak menemukan dua wadah najis dan bercampur atas keduanya yang mana yang najis, maka mencari yang sebagian besar (yang diduga kuat). Dan apabila tidak terdapat baginya tanda – tanda atas yang sebagian besar (yang diduga kuat) dari yang mana yang najis dan tidak pula bersamanya seseorang yang dia percaya kepadanya, maka mencari atas yang paling banyak apa – apa yang ditentukan kepadanya, berwudlu dengannya dan tidak bertayamum. Dan bersamanya ada dua air: yang pertama suci, dan tidak bertayamum dengan berwudlu, hal ini karena tayamum tidak mensucikan najis (jika) tidak menyentuhnya dari air, dan tidak wajib tayamum bersama dengan air yang suci.
وَلَوْ تَوَضَّأَ بِمَاءٍ ثُمَّ ظَنَّ أَنَّهُ نَجِسٌ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ وُضُوءًا حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ نَجِسٌ، وَالِاخْتِيَارُ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ، فَإِنْ اسْتَيْقَنَ بَعْدَ الْوُضُوءِ أَنَّهُ نَجِسٌ غَسَلَ كُلَّ مَا أَصَابَ الْمَاءُ مِنْهُ وَاسْتَأْنَفَ وُضُوءًا وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ الْمَاءَ النَّجِسَ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَلَى وُضُوءٍ فَمَاسَّ مَاءً نَجِسًا أَوْ مَاسَّ رَطْبًا مِنْ الْأَنْجَاسِ ثُمَّ صَلَّى غَسَلَ مَا مَاسَّ مِنْ النَّجَسِ وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ النَّجَسَ.
Dan apabila berwudlu dengan air kemudian menduga bahwasanya air tersebut adalah najis, maka tidak baginya mengulangi wudlunya hingga yakin bahwasanya dia adalah najis. Dan pilihan baginya untuk melakukannya ataukah tidak (mengulangi wudlunya ataukah tidak). Maka apabila dia yakin setelah wudlu bahwasanya air tersebut adalah najis, maka dia harus membasuh setiap yang tertimpa air darinya dan kembali berwudlu dan mengulangi setiap shalat yang dilakukannya setelah menyentuh air yang najis tersebut. Dan demikian itu apabila atasnya wudlu maka kemudian menyentuh air yang najis atau menyentuh bagian yang basah dari najis kemudian dia shalat, maka dia harus membasuh apa – apa yang menyentuhnya dari najis dan mengulangi setiap shalat yang telah dilakukan setelah menyentuh najis tersebut.
وَإِنْ مَاسَّ النَّجَسَ وَهُوَ مُسَافِرٌ وَلَمْ يَجِدْ مَاءً تَيَمَّمَ وَصَلَّى وَأَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بَعْدَ مُمَاسَّتِهِ النَّجَسَ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يُطَهِّرُ النَّجَاسَةَ الْمُمَاسَّةَ لِلْأَبْدَانِ.
Dan apabila dia menyentuh najis dan dia adalah seorang musafir dan tidak menemukan air, maka dia bertayamum dan kemudian shalat. Dan dia harus mengulangi setiap shalat yang telah dilakukan setelah menyentuh najis. Hal ini karena tayamum tidak mensucikan najis yang telah disentuh dengan badan.
(قَالَ) : فَإِذَا وَجَدَ الرَّجُلُ الْمَاءَ الْقَلِيلَ عَلَى الْأَرْضِ أَوْ فِي بِئْرٍ أَوْ فِي وَقْرِ حَجَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَوَجَدَهُ شَدِيدَ التَّغَيُّرِ لَا يَدْرِي أَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ مِنْ بَوْلِ دَوَابَّ أَوْ غَيْرِهِ تَوَضَّأَ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ قَدْ يَتَغَيَّرُ بِلَا حَرَامٍ خَالَطَهُ فَإِذَا أَمْكَنَ هَذَا فِيهِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ بِنَجَاسَةٍ خَالَطَتْهُ.
Imam asy-Syafi’i berkata: maka ketika seorang laki – laki menemukan air yang sedikit di atas bumi atau di dalam sumur atau di dalam lubang batu atau yang selainnya, maka dia menemukannya sudah sangat berubah, sedangkan ia tidak menemukan sesuatu yang najis bercampur dengannya dari kencing binatang atau yang selainnya maka dia boleh berwudlu dengannya, hal ini karena air tersebut berubah dengan sesuatu yang tidak haram yang bercampur dengannya. Maka ketika mungkin hal ini terdapat di dalamnya maka dia bisa digunakan untuk berwudlu hingga yakin najis telah bercampur dengannya.
(قَالَ) : وَلَوْ رَأَى مَاءً أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَاسْتَيْقَنَ أَنَّ ظَبْيًا بَالَ فِيهِ فَوَجَدَ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ مُتَغَيِّرًا أَوْ رِيحَهُ مُتَغَيِّرًا كَانَ نَجِسًا وَإِنْ ظَنَّ أَنَّ تَغَيُّرَهُ مِنْ غَيْرِ الْبَوْلِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ اسْتَيْقَنَ بِنَجَاسَةٍ خَالَطَتْهُ وَوَجَدَ التَّغَيُّرَ قَائِمًا فِيهِ، وَالتَّغَيُّرُ بِالْبَوْلِ وَغَيْرِهِ يَخْتَلِفُ
Imam asy-Syafi’i berkata: dan apabila dia melihat air yang lebih banyak dari lima geriba, maka dia yakin bahwasanya seekor rusa kencing di dalamnya maka dia menemukan rasanya atau warnanya berubah atau baunya juga berubah maka itu adalah najis, meskipun dia menduga bahwasanya berubahnya air tersebut dari selain air kencing. Hal ini karena sungguh dia telah yakin dengan najis yang bercampur dengannya dan dia mendapati perubahan tersebut terdapat padanya. Dan perubahan karena air kencing dan yang selainnya berbeda – beda.